Offering Give
Satu..
Bukk,
Tian membiarkan tubuhnya terbanting di atas tempat tidurnya
yang empuk. Bi ana pembantunya segera datang menghampirinya dan mengajaknya
makan siang, namun ternyata tian telah sampai di alam mimpi.
hari ini adalah hari terberat yang pernah di laluinya. Sejak
mulai berangkat ke sekolah, tian terpaksa harus jalan kaki menuju sekolah yang
jauhnya sekitar 2 km, karena di tinggal kakak, ayah dan ibunya tanpa uang
sepeser pun, ia memang bangun kesiangan pagi itu, dan sialnya tak ada yang
berinisiatif membangunkannya. Sampai di sekolah, ternyata gerbang telah di
kunci dan tian pun mengikuti kakak kelasnya yang juga terlambat menaiki pagar
belakang, at least roknya robek. Penambah deritanya adalah pak dedi guru BP
yang terkenal galak telah menunggunya di bawah pagar. Tian di hukum lari
keliling lapangan 3 kali, dan berteriak tidak akan pernah terlambat lagi
sebanyak 99kali.
Penderitaannya tidak berhenti di situ, karena ketika masuk
kelas dengan baju yang basah oleh keringat, dan rok yang robek di bagian paha,
seluruh warga kelas menertawakannya, tidak terkecuali bu hani yang sedang
mengajar. Oh poor. Tanpa mempedulikan siapapun, tian berlari menuju toilet
sambil menangis, dan sial baginya ia menabrak pak hendra, kepsek di Pelita
Harapan, sma yang di tempati tian. Dan dengan wajah sekarat tian memohon ma’af
dan kembali berlari sebelum sang kepsek memarahinya.
Tidak heran ketika pulang, ia segera berlari menuju kamar
kakaknya, indy, dan memarahinya. Indy yang juga baru pulang kuliah hanya melongo,
tak mengerti apa yang di katakan adik tersayangnya itu, karena selain tian yang
menjelaskan dengan kecepatan 350 kata permenit suaranya pun serak karena di
barengi dengan tangis. Puas memarahi kakaknya, ia menuju kamar orang tuanya dan
melihat kamar itu kosong. Kekalutannya membuat tian lupa orang tuanya pulang
kantor jam 4 sore dan sekarang baru jam 2 siang.
Akhirnya ia kembali ke kamarnya tanpa menyentuh makanan yang
di siapkan oleh bi anna. Dan langsung terlelap.
Oahhhmmmm…..
”jam berapa sih!?” mata tian membulat demi melihat jarum jam
yang menunjuk angka 05.00 pm. Dengan sentakan nyeri di kepalanya ia bangun dan
bergegas menuju kamar mandi, dia lupa bahwa sore ini harus ke tempat kursus
matiknya,. Dan tian seharunya sudah ada di sana sebelum jam 4.30.
“INNNNNNNN, DIMANA LO?!!!!” suara tian menggema.
“apa si lo, teriak-teriak mulu” kata indy kaget.
“anterin gue… telat nie…. GUE ADA BIMBEL!!!!!!!!”
Dengan nyaris ogah-ogahan Indi meninggalkan laptopnya dan
mengambil jaket, kunci mobil dan mengikuti adiknya yang hampir pingsan karena
panic.
“udah lah ian, gak usah segitunya” indi menenangkan,
“kemarin gue gak datang, kemarennya lagi gue alpa, terus
kemarennya lagi gue harus remidi ma bu ros, kalo sekarang gue gak datang, bisa
abis gue” katanya masih dengan nada
panic.
Honda jazz item metalik akhirnya tiba di tempat bimbel yang
lumayan besar itu.
Tian berlari sekuat tenaga, dan indi masih tersenyum-senyum
melihat adik bungsunya itu. Bahkan ia tak melihat mobil yang juga baru memasuki
halaman tempat bimbel itu, dan dengan bunyi memekakan telinga, indi menabrak
escudo merah itu.
Dengan wajah pucat pasi Indi menghampiri laki-laki yang
keluar dari escudo dan sedang memeriksa body mobilnya yang rusak.
“ma…ma’f pak —eh— mas, sa…sa…say..a gak sengaja, t..tadi gak
l…l..liat” indi tersendat-sendat.
Dan betapa herannya indi karena ternyata cowo’ itu malah
tersenyum setelah memandang wajahnya lama.
“gak papa, tapi hukumannya, gimana kalo kamu ngasi nomor hp
mu!!?” katanya sambil nyengir.
Setelah pertemuan singkat dengan krisna-cowo’ yang di
tabraknya beberapa Minggu yang lalu- indi makin sering memikirkan cowo’ dengan
lesung pipi itu. Sungguh aneh Karena setau indi ia sangat-sangat tidak
menyetujui jika cowo’ berhubungan dengan cewe’ yang lebih tua, namun
kenyataannya, sekarang ia mempunyai perasaan aneh pada cowo’ berondong itu.
Setelah ber-smsan beberapa Minggu, Indi akhirnya tau bahwa
Krisna baru kelas dua SMA, dan karena Indi kuliah di jurusan Web-Design dan
Animasi semester 2, umur keduanya tak begitu jauh, namun tetap saja indi harus
mengontrol perasaannya ini, apa kata teman-temannya jika tau, Indi yang
membenci cowo’ berondong ternyata jatuh hati pada anak Sma, dan parahnya Krisna
satu sekolah dengan Tian, entah apa kata Tian kalo sampai dia bisa membaca
pikiran gila Indi.
From : krisna
Hm… Gw gak tau lo bisa to gak, pi gw bakal happy bgt kalo loe
ikut, ade’ loe juga ikut kn?!!!
Ok,
Liat sikon! Ω
Send
from : Krisna
ywdah,
tp gw berharap bgt!
Uhm…
Gw usahain,
Send
From :Krisna
Gt dunk,
Ge paen?
Baru mo berangkat kuliah,
Send
From : Krisna
Gw Jemput ya!!
Tunggu 5 menit!!!!!!
Tinn…tinnn.
Bunyi klakson membuat Indi terlonjak, ia baru saja akan
menolak tawaran Krisna, namun ternyata krisna telah berada di depan rumahnya.
Segera ia meraih tas dan laptopnya, berlari menuju halaman, jangan sampai Tian
melihatnya. Sekolah Tian hari ini di liburkan karena akan di gunakan sebagai
tempat uji coba anak kelas 3. dan Tian memutuskan menghabiskan liburan 4
harinya di rumah.
Indi menengok ruang depan,
Hufffh, Tian sedang dalam kamarnya.
“lu apa-apapa’an sih, gue khan gak butuh di jemput!!!” kata
Indi, namun sebenarnya hatinya gembira, dapat melihat pujaan hatinya.
Krisna nyengir lebar, “mumpung gue libur kan”
Escudo merah berlari menembus kemacetan Jakarta, dan tanpa
terasa Indi tiba di UI, kampusnya. Dengan berat hati ia turun setelah
mengucapkan terimakasih banyak.
“di jemput?” Tanya Krisna
Indi mengangguk dengan senyum lebar.
“gue liat lu sering ya jalan sama cowo’ SMA itu?” Tanya febri
ketika indy tengah menikmati makan siangnya.
Indi mengangguk singkat, dan febri yang nampak kurang puas
memberikan pandangan sebal.
Dua..
Indy menendang batu yang berada di depannya,
Hampir jam 5 sore, dan tak ada tanda-tanda bahwa Krisna akan
datang, 2 jam lebih sedikit Indi menunggu jemputan Krisna. Dan handphone krisnapun
mati.
Febri yang menunggu dengan harap-harap cemas, akhirnya
menghampiri Indi dengan tigernya, dan berkata “pulang ama gue aja!!!”.
Febri memacu kecepatan motornya amat tinggi, sehingga indi
harus memeluknya agar tak jatuh, lampu merah menyala, dan Febri mengerem
mendadak. Indi melayangkan pandangannya ke samping, escudo merah yang tak asing,
dan ketika ia memperjelas penglihatannya, ia melihat—dengan entakan nyeri di perutnya—Krisna
memeluk seorang gadis.
Febri mengikuti pandangan Indi, dan langsung memacu kencang
motornya ketika lampu hijau menyala,, sehingga Krisna tertinggal di belakang.
“Thanks ya” kata Indi singkat dan segera masuk ke dalam
rumahnya tanpa mempersilahkan febri untuk mampir, Febri yang melihat
butir-butir air mata jatuh dari pipi sahabatnya, menarik lengan Indi dan
memeluknya.
Indi terisak dalam pelukan febri, tak mampu menahan linangan
air matanya, hatinya begitu perih, hampir 3 bulan ia menyimpan perasaan sukanya
dan sekarang ia tau,perasaannya tak pernah di balas, mungkin Krisna hanya
menganggapnya teman—tidak lebih.
Febri melepaskan indi yang matanya bengkak, wajah indi
sedikit merah ketika ia berkata “j..jangan bilang…hiks… siapa..hiks..siapa…
g-g-gue gak m...m...mau hiks… tian t..tau,…”
Febri memandang mata hijau cerah yang sekarang menjadi merah
padam itu, dan bertanya “lo suka sama anak itu?”
Dan Indi mengangguk pelan.
Tusukan setajam silet menghunus tepat dada Febri,
Sahabat karibnya, yang juga menjadi wanita pertama yang mampu
menembus hati febri, wanita yang selalu ada di dekatnya, yang selalu di
banggakannya, di pujanya, di cintai! Ternyata menyimpan cinta rahasia pada
seorang anak SMA yang tidak lebih tinggi atau lebih tampan darinya.
Febri menghela napas panjang, ia melepaskan tangannya yang
masih merangkul bahu indi, membiarkan indi masuk masih dengan air mata
bercucuran, dan pergi, febri pergi meninggalkan halaman rumah bercat hijau muda
itu dengan hati yang begitu sakit, tak pernah rasanya ia mengalami sakit
seperti ini, bahkan ketika ibunya meninggal pun, ia masih bisa menahan kecamuk
jiwa yang membara, karena selalu ada indi yang menemaninya! Indi… gadis yang di
pujanya sejak mereka bertemu pertama kali, 7 tahun yang lalu.
Dan kemudian Ingatan setajam pisau muncul di kepalanya.
“hy, sepi ya….”
Febri memberikan pandangan tajam pada gadis manis yang
meletakan bokongnya dibangku samping febri.
“kamu suka sendiri ya? Kok gak ikut anak-anak lain menjelajah
smp ini?” senyum di wajahnya membuat febri tak berani menatapnya lama.
“kamu sendiri?”
“aku liat kamu disini aku pikir kamu perlu temen”
“aku gak butuh di temenin!” kata febri lagi,
“tapi aku mau nemenin kamu! Aku indi…” gadis itu menjulurkan
tangannya.
“febrian…” balas febri.
Perkenalan hari pertama sekolah itu membawa keduanya pada
sebuah ikatan persahabatan yang mungkin tak pernah putus, pun ketika memasuki
masa SMA—3 tahun setelah perkenalan itu— ketika muncul perasaan indah yang pertama
kalinya dalam hidup cowok berponi itu, febri tak memberi tau indi tentang cinta
dalam hatinya. Dan ketika indi yang selalu mencurahkan isi hatinya pada febri,
memberi tau bahwa selusin cowok telah menyatakan cinta padanya, febri hanya
dapat menyabarkan hatinya yang pedih. Febri berusaha menghilangkan perasaan
yang lebih pada indi, dan hampir berhasil ketika setahun mereka masuk di SMA
yang sama,
Febri di kejutkan dengan berita ibunya meninggal dalam
kecelakaan mobil. Febri yang ayahnya seorang diplomat, sangat-sangat sibuk, tak
pernah punya waktu untuknya, terpukul sekali mendengar berita ini, karena
selain ia tak punya saudara di jakarta—semua keluarga ayahnya di Jogja, dan
ibunya (seorang wanita ramah baik hati yang aslinya dari Inggri)s— memutuskan
untuk pindah ke Jogja, namun Indi yang menangis selama tiga hari berturut-turut
mendengar rencana febri, membuat Febri merubah keputusannya, dan menetap di Jakarta
bersama seorang paman—lebih tepat di sebut asisten rumah tangga, karna tak
mempunyai hubungan apapun dengan febri. Dan segala usaha yang di lakukan febri
untuk memadamkan cintanya pada Indi menguap! Indi yang slalu ada ketika ia
terpuruk! Yang menyehatkan pikirannya selalu. dan parahnya, ketika indi menolak
semua cinta yang yang di tawarkan berpuluh laki-laki, membuat febri semakin
meyukainya.
Tapi sekarang, indi yang ia slalu ia mimpikan, memendam
perasaan pada laki-laki yang bukan dirinya, hatinya bagai teriris sebilah
pisau!!!
Tiga..
Indi menuju kamarnya, dan menangis di bawah bantal! Terbayang
olehnya Krisna yang memeluk seorang gadis dalam escudonya.
Suara hp indi mengaggetkan dirinya sendiri, dan ketika ia
melihat layar hpnya, ia melempar Nokia
N-76 tersebut ke tembok, sehingga bodynya rusak, dan batreinya berserakan di
lantai.
Ia kembali menangis, dan akhirnya terlelap.
“indiii, sini bentar donk sayang….” Suara mamanya kembali
mengaggetkan indi yang sedang memberikan sentuhan animasi yang ia buat.
Segera indi memebersihkan wajah dan matanya yang masih
sedikit merah. Dan kemudian menuju sumber suara mamanya yang berasal dari ruang
keluarga.
Begitu melihat indi mamanya berkata “tadi Tian nelpon, minta
indi jemput, dia hubungi indi tapi katanya hp indi mati? Papa belum pulang, lembur
katanya, gak papa khan sayang? Kasian, udah jam 7, mama takut suru dia pulang
sendiri.”
“emang dia kemana ma?” kata indi letih,
“rumah temennya, indi tau dyra khan?”
Indi mengangguk singkat dan mengeluarkan Honda jazznya,
meluncur ke jalan Sudirman.
Indi memarkir mobilnya di halaman rumah dyra yang luas, mengetuk pintu, dyra keluar dan tersenyum pada
indi,
“Tian mana ra? Udah selese kan?” Tanya nya,
“udah mba’, tian tadi ke toilet, mba’ indi masuk yuk, mau
minum apa? Tanyanya ramah,
“gak usah deh, minta Tiannya aja suru cepetan…”
Dan dyra meninggalkan Indi di ruang tamu.
“…. Balik sekarang aja, nyokap suru cepet, gian di kumpulin
lusa kan, lo pulang ma siapa ian?” seorang laki-laki keluar dari dalam bersama
Dyra dan Tian.
Jantung indi rasanya copot, KRISNA!
Krisna yang sadar adanya indi berhenti, membuat Tian menubruk
punggungnya.
Indi dan Krisna saling menatap lama, kesunyian di pecahkan
oleh suara tian “tuh kakak gue udah jemput” melihat tatapan keduanya tian
melanjutkan “kalian uda saling kenal?”
Indi menjawab ‘tidak’ bersamaan dengan Krisna yang berkata
‘ya’.Tian memandang keduanya bergantian.
“pulang sekarang!” indi meninggalkan ruang tamu dan sedikit
berlari menuju mobilnya. Namun lagkahnya di blokir Krisna, “di, lu marah sama
gue? Gue nlpon lu, hp lu mati, tadi sore gue pergi, nyokap gue tiba-tiba masuk
rumah sakit jadi gak bisa…” kalimat krisna terpotong oleh pandangan indi,
“Gue mau pulang! Minggir loe! Jangan ganggu gue lagi!!!”
Indi menarik lengan Tian masuk dalam mobil, dan memacu
mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Tian membuka percakapan, namun baru membuka mulut indi
membentaknya “jangan nanya apa-apa!!!!. Tian menutup mulutnya kecewa.
Sesampainya di rumah, indi langsung memasuki kamarnya, di
ikuti Tian, yang langsung menghujam indi dengan berbagai pertanyaan,
“lo kenal krisna? Kok bisa? Kenal darimana? Tadi kok kaya’nya
kalian berantem gitu???”
“ gue mau istirahat, kapan-kapan gw cerita,” kata indi
singkat,
“tapi gue mau tau, elu tau gak? Krisna itu cowok yang gue
taksir!!!! Gue pernah cerita kan? Anak baru dari Bandung itu lho… gue suka ma
dia sejak ketemu dia waktu di bimbel, gw gak tau ternyata besoknya dia sekolah
di SMA gw, satu kelas lagi….” kata Tian bersemangat.
Zzzzzzttt…
Seribu satu aliran listrik kembali menyetrum indi.
Empat..
Tian tersenyum ketika memasuki rumahnya, Padahal, tadi pagi
ia mengeluh, kenapa uji coba hanya 4 hari, ia hampir saja lupa bahwa hari ini
sekolah, jika mamanya tak membangunkannya, mungkin ia akan tidur sampai siang.
“elu kenapa senyum-senyum?” kata indi yang juga baru pulang.
“hummm… lo tau gak?! Nanti sore, kita da kemping gitu, semua
nak kelas dua ikut, dan yang bikin gw senenk, gw bakal duduk bareng ma Krisna
di bis, dan lu bisa bayangkan? Perjalanan ke Bogor tu hampir3 jam lhoooo….”
Indi hanya tersenyum kecut,
“lo ikut? Gw denger boleh ngajak keluarga, mumpung ini hari
jum’at, lo punya waktu refresing 2 hari penuh di, lagian week end gak ada
kuliah yang penting kan?!” Tian berkomat kamit.
Indi hanya menggeleng, bagaimana mungkin dia ikut, jika ada
Krisna di sana. Ia telah mencoba menjauh-sejauh yang ia bisa dari cowok itu,
sejak kemarin lusa ia tak berhubungan apapun dengan Krisna, dan ketika Krisna
datang kerumahnya, Indi membanting pintu tepat di depan hidung Krisna.
“ma… Tian pasti kangen ma mama, nanti Tian coba buat nelpon
mama terus deh” pamit Tian ketika teman-temannya datang menjemputnya. “ndi, lo
beli HP baru donk.. susah gue hubungin tau!!!” lanjutnya.
“bawel deh, hati-hati ya” balas indi
Tian mengangguk, lalu suara klakson membuat ketiganya menoleh
kearah jalanan. Tian melirik jamnya, dia memang agak terlambat.
“udah sana, kamu jangan macam-macam di tempat kemping ya,
jangan lupa diri, jangan terlalu kebawa suasana, jangan terlalu banyak main,
jangan lupa istirahat” mamanya menasihati. Indi dan tian hanya saling pandang,
sudah sangat hafal kebiasaan mama mereka. Padahal kemarin tian sudah di
gembleng mamanya, tapi saat terakhirpun, mamanya masih sempat mengucapkan
beberapa petuah lain.
Setelah mencium mama dan Indi dan menitipkan salam pada
papanya yang sedang di Prancis, Tian pergi.
“ohaaaammmmmm…. Kita udah dimana ne??” Tanya Tian yang baru
bangun dari tidur ayamnya.
“baru masuk Bogor, buat ke bukemnya nempuh kira-kira satu jam
perjalanan lagi, lo tidur aja, ntar gw bangunin kok” jawab Krisna yang sibuk
dengan HandPhonenya.
Namun Tian tak berniat untuk tidur, mengambil i-pod dan mengikuti alunan lagu di dalamnya.
“HP kakak lo kok gak aktif terus sih?!” krisna bertanya.
“rusak” kata Tian singkat karena ia tengah menikmati lagu
favoritnya ‘my love’.
“lo kenal kakak gw dimana?” Tian membuka percakapan,
“ kalo gak salah, dia nabrak gw gitu pas dari tempat bimbel,
dia takut banget, dan pas nanya mau ganti rugi apa, gw cuma minta nomor hp nya.
Ya udah kita kenalan dari situ” tian membentuk huruf O dengan bibir mungilnya.
Tian, sebenarnya adalah cewek super manis, dengan hidung
lumayan mancung(kalo gak bisa di bilang pesek), bola mata coklat yang sangat
berbeda dari kakaknya (mata indi hijau cerah), pipi tembem yang membuat matanya
semakin sipit, bibir mungil yang menggemaskan, dan menyempurnakan penampilan
wajahnya, mahkota yang menghiasi kepalanya berwarna hitam legam, dengan tinggi
160 dan berat 49kg, perfect, hanya saja, yang membuat Tian saratus delapan
puluh derajat berbeda dengan indi, Tian cewe’ sibuk yang suka menjelajah,
ekskul di sekolahnya macem-macem, dari Pramuka, PHPalam (Pelita Harapan Pecinta
Alam), paskibraka semuanya di jambangi, sedangkan Indi, selain lebih suka
menghabiskan waktu di rumah berada di depan laptopnya, sifatnya pun lemah
lembut dan sedikit lebih tenang, sangat berbeda dengan Tian yang sifatnya
keras, dan kadang tak pernah mau berpikir dua kali. Namun di balik itu, tian
sangat peduli pada orang lain.
“kakak lo udah punya cowo’!?” lanjut Krisna,
“I don’t know, dia gak
pernah ngebawa cowoknya ke rumah ce, padahal setau gw udah lebih dari selusin
cowok yang nembak dia di berbagai kesempatan, tapi gitu deh, gak da yang
ngebuat dia tertarik kaya’nya. Satu-satunya cowok yang sering bareng dia Cuma
mas Febri, sahabatnya dari kecil, dan gw rasa, itu yang ngebuat Indi sulit
ngedapatin cowok, semua temen-temennya ngira indi sama mas febri tu pacaran,
emank sih mereka dekeeet banget, tapi ya gitu deh, gw gak tau mereka udah
ngelepas persahabatan mereka karena cinta ato gak, yang jelas gak da yang bisa
misahin dua anak itu!” cerita Tian panjang lebar.
“febri tu, cowo’ yang make motor Tiger, yang punya poni itu
bukan? Yang kulitnya putih?” Tanya Krisna lagi,
“yups, cowok cakep tinggi cuek, and sekaligus dingin banget, loe kenal?”
“gak” jawab Krisna singkat,
“hmmm, dia itu selalu jadi idola di manapun, waktu SMA aja
temen-temen smp gw pada gila banget ma mas febri, gak da cewek yang gak naksir
dia, cakep, tinggi, putih, pinter,…”
“dan dari semua kesempurnaan yang lu jelasin ke gw, gak da
kemungkinan Indi suka sama tu cowo’?” potong Krisna,
“gw gak tau, may be yes, mey be no, semua orang juga nganggep
Indi bego’ waktu tau dia sama Mas
Febri Cuma sahabatan, secara apa
sih yang kurang dari mas Febri? Well, mungkin emank mas febri tu tipe cowok
cuek, tapi tu malah ngebuat dia tambah cool…” kata tian mengerjapkan matanya,
“kenapa lo gak nembak dia aja!!?” kata Krisna ketus
Tian terlihat salah tingkah gw sukanya ma elo tau!!!
Batin tian, “gw…gw…” tian tergagap, namun ia di selamatkan oleh bunyi hp nya,
“panjang umur nih orang, halo, ada apa mas”
“ian ne indi, eh buku gw yang lo pinjem kemarin lo taro
mana?! Gw butuh banget” suara indi terdengar panic.
“hm, di atas meja belajar gw ada kok,”
“GAK ADA!!!!”
“di bawah bantal kaya’nya, emang buat paan?”
Tuut…tuut…tuut…
Tian memandang hpnya bingung, ini anak kesambet apa ya?
“siapa?” Krisna yang sedari tadi memperhatikan Tian
berbicara,
“indi” jawab tian singkat.
Lima..
“kita udah sampe?” Tanya Tian
“yupz, turun yuk” krisna menjawab seraya bangkit dari
kursinya,
Mereka menuruni bus dengan puluhan anak lainnya, dan mulai
mendirikan tenda masing-masing, di sekolah mereka telah di bagi menjadi
beberapa kelompok, yang 1 kelompok terdiri dari 7 orang anak, dan tian senang
sekali 1 kelompok dengan Krisna.
“ra, masak yuk” ajak tian kemudian, ketika mereka tengah
bersandar di bawah pohon cemara yang menjulang tinggi,
Krisna, Tio dan Dina kebagian mencari kayu bakar, Tian dan
Dyra bertugas untuk memasak sedang dua cewe’ lainnya mencari air, dan mulailah
kegiatan pertama mereka di bukem. Matahari telah 2 jam terbenam ketika mereka
menikmati makanan yang begitu pas-pasan.
Mereka membuat api unggun di tengah-tengah tenda yang
berjejer rapi dan menghabiskan malam pertama mereka dengan bernyanyi ceria,
sungguh mengecewakan ketika para guru berteriak menyuruh mereka tidur.
Pukul 01.00 dini hari Tian terlelap, sementara dyra, rika,
angel dan dina masih terlibat dalam pembicaraan tentang gossip terhangat di
sekolah. Ketika satu persatu anak-anak cewek itu mulai mengantuk, Krisna dan
Tio masuk ke dalam tenda mereka dan berkata “ok, kalo kalian masih mau
ngegosip, kita bisa di marahin ma guru! Jadi mending kalian tidur!!!” disambut
dengan celotehan seperti “ini kita juga mo tidur” atau “gak liat kita mo
tidur?”
“WAKE UPPPPPPPP!!!!” Teriak bu Dian ketika pagi berikutnya
mereka masih meringkuk di bawah selimut,
“addduhh, jam berapa sih? O MY GOD!!! Baru juga jam 4 subuh,
gila tu guru” celoteh mulai terdengar di masing-masing tenda,
“tian… bangun dong!!!” dyra menguncang-guncang tubuh Tian
yang tak bergerak,
Byurrrr….
“a…a…pa sih, banjir ya?” tian tersentak dari tidurnya dan
mendapati wajah dan kerah baju tidurnya basah,
“siapa yang nyiram gw….!!!” Teriak Tian
Dan anak-anak menunjuk Krisna.
Tian masih marah pada Krisna karena membangunkannya dengan
cara yang kurang kemanusiaan, dan Krisna pun tak menunjukan tanda bahwa dia
menyesal, dia malah menunjukan tampang ‘begitu lebih baik’ yang membuat tian
semakin kesal.
Kemarahan tian belum juga reda pun ketika mereka makan siang
di dekat sungai.
Para guru memberikan mereka game yang seru sekali ketika
mereka menyelesaikan makan siank. Mereka harus melalui beberapa rintangan yang
telah di siapkan di dalam hutan, mengikuti jejak yang benar dan mengabaikan
jejak yang keliru, mereka harus tiba di tenda mereka sebelum gelap, yang
pertama sampai akan mendapat tambahan nilai untuk jungle survivalnya.
Kelompok nya sama dengan kelompok yang telah dibagikan. Dan
meskipun tian masih geram dengan Krisna, mereka harus bekerja sama guna
melewati tantangannya.
“ok, ada beberapa jalan yang akan kalian tempuh, kalo kalian
memang gak sanggup, kalian tinggal balik dan bilang kalian nyerah. Tapi ingat,
rintangan yang ibu berikan sama sekali gak akan ngebuat kalian celaka, jadi
kalo kalian ngira ini akan nyusahin kalian mending kalian balik! Finishnya gak
jauh dari sini, dan ibu gak akan ngasi tau dimana, kalian hanya perlu tau,
tempat terindah adalah tempat dimana kalian bisa nyentuh langit”
Bingung dengan kata-kata terakhir ini mereka pun memulai,
tian mendapat sedikit kesulitan ketika di haruskan mendaki bukit terjal “ok gw
nyerah, kalian tau gw gak suka ketinggian!!!” tian sedikit histeris,
“lo Cuma perlu nutup mata, jangan liat ato ngebayangin berapa
tinggi bukit itu, inget aja kita semua pasti nolongin lo kalo lo kenapa-napa”
Krisna mengingatkan, dan tian mekipun masih kesal, memperhatikan bahwa krisna
sangat peduli terhadapnya, dan ini membuat tian begitu bahagia.
Tian ingin sekali menangis ketika akhirnya mereka sampai di
atas, dia juga tak memperdulikan teman-temannya berkata pemandangan dari atas
bukit begitu menakjubkan.
Setelah beristirahat 30 menit, mereka melanjutkan perjalanan,
menuruni bukit mengikuti jejak yang ada dipohon, mereka pikir tersesat, karena
setelah satu setengah jam berjalan mereka tak menemukan satu petunjuk pun,
sampai Rani berteriak “di sini ada anak panah” dan mereka mengikuti anak panah
itu, dan tiba di sebuah sungai yang mengerikan.
“kita gak mungkin di suru berenang kan? Kita bisa mati” kata
Tio lebih kepada dirinya sendiri sedang Angel berkata “gw rasa kita di suru
terbang, ada yang punya sayap?” membuat teman-temannya tersenyum.
Krisna mengamati sekitar mereka, mendekati batu besar yang
warnanya aneh, dan melihat petunjuk anak panah yang mengarah ke belekang pohon
kedondong, krisna mengikuti petunjuk dan melihat bahwa mereka bahkan tak harus
menyebrangi sungai, Karena ternyata mereka di tuntun untuk memutar jalan dan
kembali ke atas tebing tadi.
“apa maksudnya!?” dina menyuarakan apa yang ada di hati Tian,
“kalian gak sadar ya?” Tanya krisna kemudian, teman-teman
mengerlingnya bingung.
“maksudnya, tempat yang di maksud bu dian itu ya ini,
finishnya di sini” kata Krisna lagi,
“hah, loe tau dari mana? Bu Dian gak pernah bilang tu di
sini” Dyra sedikit bingung, wajah putihnya berkeringat, sama seperti yang lain,
jam di arloji tian menunjukan pukul 05.30 pm, yang artinya mereka telah
berjalan hampir 5 jam.
“tempat terindah adalah tempat dimana kita bisa nyentuh
langit!” kata krisna mengutip “tempat terindah itu ya tempat dimana kita bisa
nyelesain rintangan-rintangan ini dengan kata lain tempat finisnya dan tempat
dimana kita bisa nyentuh langit,
maksudnya tempat paling dekat dengan langit—bukit ini— gak ada tempat
tinggi lainnya kan yang kita lewati?” krisna menjelaskan,
“jadi maksud kamu?!” tian memandang berkeliling, “finishnya
di tempat yang udah kita lewati?”
“that’s right!” suara bu dian mengagetkan ke 7 anak muridnya. “ok, masing-masing 85 untuk
kalian, dan” dia memalingkan wajahnya ke krisna “untuk kamu, 100” membuat
krisna bersemu merah.
“apa yang di bilang sama Krisna semuanya bener, ibu ngasi kalian tantangan
ini, biar kalian itu bisa mikir jauh dari logika, pak hadi kasi tau ibu,
katanya beliau baru aja nyegah kelompoknya Rian cs nyelam ke sungai, mereka
pikir finishnya di sebrang sungai, padahal ibu pernah bilang, kalian gak akan
celaka, ok, mending kalian balik ke tenda, ibu harus nunggu anak-anak lainnya
lagi, ada pak ikrar di tenda, kalian minta aja hadiah sama beliau” celoteh bu
dian.
Dengan senyum mengambang di wajah, mereka menuruni bukit,
tian sudah lupa akan kemarahanya pada
krisna, dan ketika pak ikrar membawa mereka ke bukit bintang—setelah makan
malam yang telah di siapkan guru-guru—, mereka terkagum-kagum menyadari bahwa
ternyata bukem mereka terletak di lembah yang cukup tinggi, sehingga ketika
malam mulai merambat, mereka dapat melihat kelap-kelip lampu kota bogor di
bawah. Tian merekam pemandangan luar biasa itu dengan handycamnya untuk di tunjukan
pada indi, betapa ruginya indi karena tidak ikut, dan meskipun tian
sangat-sangat takut akan ketinggian, mau tidak mau ia menyadari bahwa tempat
tinggi adalah tempat yang paling sempurna untuk melihat sesuatu yang luar
biasa.
Hampir 2 jam mereka menghabiskan waktu memuji betapa indahnya
pemandangan dari atas, dan ketika pak ikrar menyuruh mereka untuk kembali,
mereka meninggalkan tempat itu dengan enggan.
Malam telah mencapai titik tergelapnya ketika mereka di paksa
untuk tidur, namun malam terakhir di tempat itu sepertinya membuat anak-anak
kelas dua ini tidak ada yang berniat memejamkan mata, dan mereka malah memaksa 6
orang guru dan 2 penjaga kantin yang ikut untuk bergabung dengan mereka ketika
mereka duduk meringkuk di bawah siraman hangatnya api unggun yang di buat.
2 jam setelah pergantian hari pak ikrar memaksa mereka masuk
ke dalam tenda masing-masing, tak ada yang membantah karena semua sadar malam
itu benar-benar larut!
Namun mereka hanya masuk ke dalam tenda, melanjutkan
aktivitas di dalam. Tio dan Krisna menyelinap masuk ke dalam tenda anak
perempuan membuat Tian yang sedang menguap hampir tersedak, kaget! Mereka
membawa kartu remi dan beberapa cemilan yang di sambut dengan jeritan senang
tertahan teman-temannya, Angel meraih tasnya yang penuh makanan dan
mengeluarkan semua isinya.
Dan begitulah mereka melewatkan sisa malam, bermain sambil
cekikan geli, bahkan tian yang akan memilih tidur pun ikut bermain. Tenda
mereka bukan satu-satunya yang begitu, hampir semua tenda tak ada yang benar-benar
sepi. anak-anak menginginkan suatu kenangan indah di malam terakhir!
Namun ketika waktu menunjuk pukul 4 pagi, para guru masuk ke
semua tenda dan menyuruh anak-anak tidur karena besok pagi mereka akan
melakukan sedikit kegiatan sebelum pulang, dan kalau mereka tidak beristirahat
di jamin mereka mungkin takkan bisa mengucap salam perpisahan untuk bukem ini.
Dan semua anak menuruti perintah ini, krisna dan tio yang
sudah begitu lelah memilih untuk tidak kembali ke tendanya, membuat rani dan
dyra sedikit gelisah, “addduh plis deh, kalian gak pecaya sama kita?” krisna
menenangkan, dan mereka pun tertidur, dengan krisna dan tio berada di bawah
kaki anak cewek.
Sekitar pukul 7.50
pagi bu Dian berhasil membangunkan seluruh murid-muridnya, padahal dari jam 6
lewat ia telah berteriak menggunakan pengeras suara, namun hanya beberapa tenda
yang terganggu dan yang lainnya masih tetap tertidur seperti tak ada apapun,
dan ketika seluruh muridnya berkumpul di tengah-tengah tenda tempat mereka
mambakar api unggun semalam, dengan mata super merah ia meraung “kalian tau jam
berapa sekarang? Masih ada satu kegiatan yang belum kita lakukan dan bis sekolah datang pukul 11 pagi,
bagaimana mungkin cukup waktunya!!!?”
“Sekarang kalian makan, semuanya udah di siapin!!!” lanjutnya
membubarkan barisan anak-anak yang masih sangat mengantuk itu!
Mereka baru selese mempersiapkan diri, mandi dan berkemas
pukul 10 lewat, yang artinya kegiatan —yang sama sekali tidak mereka tau—takkan
di lanjutkan.
Tian memandang sedih bukem yang hilang di antara pohon-pohon
ketika mereka menuju perjalan pulang, tidak rela rasanya meninggalkan tempat
itu, begitu indah, begitu menakjubkan, tak terlupakan.
“udah lha, laen kali kita pasti bisa ke sana lagi” kata
krisna memperhatikan pandangan Tian.
Bunyi hp tian menyadarkannya dari lamunan,
“halo” kata tian lirih,
“sayang, kamu dimana? Jadi pulang hari ini kan? Mama telepon
berkali-kali kok gak di angkat sih sayang?” suara mama tian terdengar panic.
“aku ge di jalan, m’ap ma di sana gk da sinyal hp, jadi aku
gak bisa ngasi kabar apa-apa” tian memberi alasan,
“oh ya udah deh, hati-hati ya sayang”
“he’eh, ma indi mana?”
“indi pergi ma febri dari tadi pagi, katanya mau ke dufan…
mungkin sorean pulangnya” jawab sang mama,
“ke dufan sama mas febri!?, tapi kalo mereka udah jalan-jalan
pasti pulangnya malam ma…—krisna yang duduk di samping tian tersedak— yang
jemput aku siapa? Mama? Papa masih di paris kan?” katanya sedikit histeris
“nanti mama yang telepon, kasi tau aja kalo kamu udah sampe,
mama gak bisa, ada acara sama temen mama”
“ya udah de ma, aku mo tidur ne, lagian sinyalnya buruk, dada
mama..” tian memutus kontak.
“indi pge ma cowo’ itu?” krisna membuka pertanyaan setelah ia
sibuk dengan pikirannya.
Tian mengangguk “napa?”
“sering ya mereka keluar minggu?”
“well, kalo gak sibuk”
Dan monster yang hidup dalam tubuh krisna maraung marah.
Mereka tiba di sekolah sekitar pukul 3 lewat, perjalanan yang
cukup melelahkan namun sangat dinikmai. Mereka kemudian mengemasi barang
masing-masing, di tengah ke sibukan itu, tian segera meng-sms mamanya.
Satu persatu anak-anak itu pulang, hanya tinggal beberapa
anak termasuk tian dan krisna yang ada ketika akhirnya mobil indi masuk ke
pekarangan sekolah. Tian dan krisna menoleh, namun betapa sakit hati krisna,
ketika melihat bahwa indi tidak sendiri Karena ternyata yang menyetir mobil
adalah febri.
“ndiiiii” tian berlari menuju indi, dan tenggelam dalam
pelukannya. Indi memukul pelan kepala adik kesayanganya itu “lo pergi lama
banget tau gk?” indi mengangkat wajahnya dan melihat krisna sedang
memandangnya. Ia mengalihkan perhatiannya dengan menyuruh febri mengambil barang-barang
tian,
“barang lo dimana!?”
tian menunjuk tepat di samping krisna berdiri yang membuat indi harus
kembali bertatapan dengannya.
“feb, lo bisa ngambil barangnya tian kan?” indi berkata, dan
febri mengerti maksudnya, ia kemudian berjalan kearah krisna.
Gelombang amarah kembali menguasainya, ingin sekali febri
menghajar orang yang berdiri mematung di depannya ini, orang yang merebut perasaannya
yang membuat wanita terpenting dalam hidupnya —setelah sang ibu—jatuh cinta,
febri membungkuk mengambil tas tian.
Di sisi lain krisna memandang febri dengan perasaan luar biasa
kesal, hingga tak mungkin tak ada yang menyadari tubuhnya bergetar menahan
amarah, ia mematung di tempatnya, mengerling dengan pandangan tajam kearah
febri membungkuk, ingin sekali ia menghajarnya saat ini juga.
Sesaat sebelum pergi febri memandang krisna penuh dengki,
begitu juga sebaliknya, kedua wanita yang berdiri tak jauh dari mereka
memandang ngeri, tian begitu heran, bukankah mereka tidak saling kenal???
Sedang indi, memanggil febri, berharap febri tak melakukan apapun. “feb,
cepetan napa!!!?” teriak indi. Dan dengan satu lirikan super duper kejam ia
meninggalkan krisna yang juga punya perasaan yang sama,.
“kris… gw balik duluan ya, sampe besok” teriak tian, tak
menyadari kegusaran di wajah krisna, febri atau kakaknya.
“……. pas kita di kasi games, seruuu banget, kita ngejelajah
hutan naik bikit trus turun lagi, aku gak berani, tapi krisna ngeyakinin aku,
akhirnya kami sampe, dan ngelanjutin perjalanan, krisna banyak banget bantuin
aku, dan dia juga yang nunjukin dimana finisnya, padahal kita gak da yang
ngerti, tapi krisna emang udah kaya’ detektif beneran. Malam terkhirnya seru
banget, kita gak ada yang tidur, pada cerita2, krisna datang ke tenda cewek
bawa cemilan sama kartu, emang dia tau banget kita pada kelaperan” celoteh tian
ketika ia sampai dirumah, ssetelah melepas kangen dengan mama dan rumah serta
menelpon ayahnya yang masih bertugas di prancis,tian langsung menodong mamanya
dengan beribu cerita lucu dan mengesankan.
Ia baru selesai ketika sadar perut nya konser minta untuk di
isi, akhirnya ia mandi dan segera menuju meja makan.
“lo rugi gak ikut ndi” tian memulai ceritanya ketika malam
mulai turun, ia sedang bermain menggunakan laptop milik indi, sedang indi
mencoba untuk berkosentrasi dengan soal mid yang ada di depannya.
“krisna tu baiiik banget, gw kaget pas pertama nyadarin, gw
kira dia tipe yang jayus dan gak bisa serius, tapi ternyata bisa loh dia jadi
serius. Penuh perhatian, pengertian…”
Indi memperhatikan soal yang ada di hadapannya, namun
huruf-hurufnya kabur, tak ada yang dapat ia baca, karena air mata telah
memenuhi mata indahnya.entah apa yang merasuki hatinya, kini benda itu sakit
sekali, seperti ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya, membuat ia sulit
menarik napas, mendengar semua cerita dan pujian tian terhadap orang yang di
sayanginya membuat indi seperti tertohok, tak mampu berpikir apapun, ia begitu
menderita. Kenapa batin indi kenapa lo ngebo’ongin gw Kris…. KENAPA??!!!
Apa gw bener-bener gk punya arti di mata lo? Kenapa!!!!!??
“…… ampun di, gw rasa gw beneran cinta sama itu cowok!!!” Tian mengakhiri ceritanya.
DZZZZZZTTT
Indi tersentak, tangannya gemetar, adiknya, adik
kesayangannya, mencintai orang yang di dambakannya!
Indiii, berapa lama lo kenal krisna? Berapa lama juga lo
kenal adek lo? Tian gak akan bisa nerima kalo tau lo juga suka ma krisna! GAK!!
Loe harus ngerelain krisna, lupain dia ndiii… batin indi bereaksi.
“ian, lo bener-bener suka ma krisna?” indi bertanya, Menahan
sebisa mungkin agar suaranya tak bergetar.
‘ian…”indi berbalik, mendapati tian yang tertidur pulas di
kamarnya.
Indi menghampiri tian, mengecup kening adiknya dan berbisik “gw
gak akan ngerebut dia ian, gw ikhlas loe milikin krisna” dan air mata indi
kembali mengalir deras.
Enam..
“ya ampunnn, kok gak da yang bangunin aku sih?” tian
berteriak kaget melihat jam berbentuk hati di kamar indi, jam 6 lewat.
Ia berlari menuju kamarnya, mengambil handuk dan mulai
berpakaian, ia baru selese sekitar pukul 7 kurang 15 menit, “gak sarapan?” indi
memperhatikan tingkah adiknya, tian menggeleng, “mama mana?” tanyanya lagi,
“kantor” jawab indi singkat seraya mengigit roti panggangnya.
“hah?” gw belon minta duit….!” tian berteriak kaget lagi.
“adduh, loe berisik banget sih… ntu uang lo di atas tivi”
indi menunjuk dengan dagunya.
Tian berlari mengambil uangnya, dan kembali berlari menuju
halte, dan segera berangkat sebelum ia ketauan terlambat lagi, kejadian 3 bulan
lalu masih jelas terekam dalam otaknya.
“tian…” krisna menghampiri tian yang berdiri di depan papan
pengumuman.
“gw punya satu prtanyaan buat lo, ikut gw ke kantin bisa?”tian
mengangguk bersemangat.
“ok, gw udah siap buat ngejawab” kata tian tak sabar setelah
sekian lama mereka hanya duduk diam.
Krisna mengangkat wajahnya dari mie ayam yang belum di
sentuh, dan berkata dengan tegang “febri sama indi pacaran ?”
Tian melongo kaget, sama sekali tak menyangka kalau
pertanyaan yang di ajukan krisna adalah pertanyaan seputar kisah indi dan
febri.
“gue gak tau” jawab indi ketus, “dan kenapa gw harus ngasi
tau ke elo kalo gw tau???? Lo naksir kakak gw?” lanjutnya masih dengan nada
jengkel.
“gw suka sama lo”
Andai saja tian tidak melihat mulut krisna bergerak, ia yakin
ia hanya membayangkan kata-kata tadi.
“loe mau jadi cewe’ gw?” krisna melanjutkan.
Tian hanya bisa terbengong-bengong, mulutnya membentuk
lingkaran yang sempurna, butuh beberapa menit bagi tian untuk meredakan
jantungnya dan berkata “loe becanda ya?”
“gw serius, lo mau jadi cewe’ gw??” krisna mengulang
permintaannya.
“mau” tian menjawab secepat kilat,
Krisna menghela napas, dan tau bahwa keputusannya kali ini
beresiko. Namun dia hanya punya cara ini. Hanya ini.
“kenapa?” Tanya tian begitu mereka memasuki kelas.
“hm?”
“lo diam aja” tian bingung, berbeda dengan tian, krisna
terlihat tertekan, bukankah mereka baru saja jadian? Lalu kenapa hanya tian
yang terlihat sumringah dan berbunga-bunga.
“gue, gue.. gue Cuma shock karna lu mau jadi pacar gue” jawab
krisna
Wajah tian memerah, darah serasa megalir deras ke wajahnya.
Ia tertunduk malu dan tersenyum bahagia.
“makasih ya,”
“buat apa? Tanya krisna bingung.
“karna jadi cowok gue” kata tian tersipu.
Krisna hanya mengangguk dan kembali melamun.
Guru mereka datang, namun keduanya tidak dapat berkosentrasi.
Tidak sampai jam terakhir berbunyi, dan krisna menawarkan diri untuk mengantar
tian. Tian senang luar biasa.
“mau mampir?” Tanya tian, ketika mereka sampai.
Krisna menoleh kearah rumah, dan melihat garasi mereka
kosong.
“ortumu belum pulang?”
Tian menggeleng,
“indi?” Tanya krisna lagi,
“gak tau kalo dia, tapi kayaknya belum. Mobilnya belum ada”
jawab tian. “kenapa sih?”
Krisna terdiam sejenak, lalu “gue gak enak kalo bertamu saat
rumah lu sepi begitu” katanya beralasan.
“ada bi ana kok” dumel tian.
“lain kali yah” sambung krisna,
Tian turun dan melambai pada krisna. Ia masih belum percaya
hari ini ia resmi pacaran dengan cowok yang ditaksirnya sejak dulu. Ia
menggeleng pelan, menjernihkan perasaannya dan berlari masuk rumah.
“biiiii anaaaa” teriak tian,
Bi ana datang dengan tergopoh gopoh, “iya non”
“aduh, aku seneng bangettt biii” katanya pada wanita separuh
baya itu.
Bi ana hanya bengong melihat anak majikannya bersikap aneh.
Tian yang sudah tak sabar memberi taukan berita gembiranya berlari
menuju telpon rumahny dan menekan nomor hp indi,
“halo ndi, tian nih lo dimana?”
“gw masih di kampus mau pulang, kenapa ian?” suara indi di
seberang,
“ndiii, gw di tembak krisna!!!!!!!”
“………..”
“dan waktu dia nanya gw mo jadi ceweknya dia to gak, gw
langsung jawab ia, adddduhhhh, lo pulang cepetan ya, gw gak sabar pengen cerita…”
tian mengoceh,
Tuuut…tuuut….tuuut….
“halo, indi? Kok mati?”tian bingung.
Tujuh..
Ada masa ketika hati tergores oleh kebohongan
Ada waktu ketika perasaan ternoda oleh kata-kata
Ketika cinta harus memilih
Dan pengorbanan menjadi pilihan tersulit
Maka
akan tersibak sebuah layar yang penuh dengan airmata
Indi memandang jauh ke warna biru muda itu, seakan menyatu
bersama langit, hati dan perasaannya benar-benar hancur, ingin sekali ia
berteriak, mengeluarkan semua kesakitannya, berharap debuaran ombak dapat
menghapus sakit di hatinya.
“halo” suara febri terdengar dari tempat yang jauh sekali,
“in… ada apa?”
“feb, lo tau gak? rasanya sakit banget, di hati gw feb,
perih! Gmana cara ngilanginnya?? Gw butuh obat feb! tapi satu-satunya pil yang
gw punya udah gw serahin ke orang lain! Sakiit! Gw gak mau kehilangan dia febri!!!”
tuutt…tuuut….
“ha…ha..halo… in…indi lo kenapa?” febri tersentak kaget, ada
dengan indi? Tak pernah ia mendengar suara indi begitu menderita, apa yang
terjadi?
Febri mengeluarkan corolla hitamnya, dan memepercepat laju
mobilnya menuju rumah indi, hatinya begitu gelisah, indi loe kenapa?
“indiiiii….ind…. loe dimana?” suara febri mengaggetkan tian
dan bi ana yang sedang menikmati makan siang,
“ada pa mas?” Tanya tian menghampiri febri yang telah berada
di kamar indi,
“indi mana?” Tanya febri, wajahnya berubah menjadi sepucat
tembok ketika tak melihat indi di kamarnya,
“indi bukannya di kampus?”
“ddia…dia udah ppulang dari tadi!”suara febri mulai terdengar
ketakutan, “dimana dia?” raungnya.
“mas, indi kenapa?” Tanya tian panic, “tadi dia sempet nelpon
aku, katanya lagi di jalan mo pulang, tapi pas aku cerita soal aku di tembak ma
krisna teleponnya langsung mati, aneh juga sih mas, aku…” tian tak melanjutkan
ceritanya karena tiba-tiba wajah febri mengeras dan suaranya yang menyusul
benar-benar menyeramkan, “KAMU DI TEMBAK KRISNA!?” tanpa menunggu apapun bahkan
jawaban dari tian, febri berlari menuju mobilnya, membuat tian
terbengong-bengong.
Febri melintas di jalan yang lumayan padat itu dengan hati
yang berkecamuk, takut, indi pasti ke sana, ke tempat mereka menghabiskan waktu
berdua, tempat paling indah yang pernah di jumpai indi, tempat yang selalu ia
kunjungi ketika perasaannya terluka, ya pantai itu!
tak sulit bagi febri menemukan indi, karena selain tempat itu
jarang di kunjungi orang, febri juga tau persis posisi dimana indi ketika
memandang laut, tepat di atas bukit yang menjorok ke laut, bukit itu hampir tak
pernah di kunjungi orang, kecuali mereka berdua, karena letaknya sedikit
tersembunyi.
Febri memandang siluet wajah indi, ada air mata di sana, dan
betapa terkejutnya febri ketika melihat indi dari dekat. Indi berantakan,
wajahnya bepilin, dan ia memluk dirinya sendiri, jelas bukan karna kedinginan.
“indii” panggil febri pelan,
Gadis itu mengangkat wajahnya “ggue…ggue… feb… krisna…
tian….” Indi tersedu-sedu, matanya merah darah.
“udah yah, jangan nangis lagi” kata febri lembut.
“rasanya gue pengen nyebur kesana aja feb, berenang bebas
bareng ikan-ikan di bawah sana”
Darah surut dari wajah febri, “lo ngomong apa ndi?”
“lo gak tau gimana
rasanya, sakit feb! sakiiit..”
“lo mo ngajarin gw? Lo pikir gw gak pernah kehilangan orang
yang gw sayang? Nyokap gw in!!! nyokap gw pergi ninggalin gw selamanya! Dan lo
masi mikir kalo gw gak ngerti perasaan lo? Lo Cuma kehilangan krisna, lo masi bisa
megang dia, nyentuh dia, mandangin dia!!!? Sedang gw? Gak in! tapi gw gak
nyerah kaya lo, gw bisa ngatasin penderitaan yang jauh lebih besar daripada
yang lo rasain, lo tau gimana sesak dada gw waktu tau gw gak akan bisa ngomong
lagi sama nyokap gw? Tau gak lo? Gk indi!! Lo masih bisa ngobrol sama krisna!
Jadi jangan pernah ngomong kalo gw gak ngerti ato gak pernah ngerasain apa yang
lo rasain!!” kata krisna, amarahnya terbit melihat keputus asaan indi. ia benci
melihat indi begitu menderita hanya karna seorang cowok abg.
“ggue… gue gak bermaksud, ggue Cuma…” indi merasa bersalah,
“cukup! Sekarang hapus airmata lo, dan dengerin gw! Gw tau lo
cewek terkuat yang pernah gw kenal ind, jadi plis, jangan pernah jatuh karena
masalah sederhana kaya’ gini, jangan in! lo tau gw bakal selalu ada buat elo!”
febri memeluk tubuh infi yang gemetar .
“padahal gw udah ngerelain krisna buat tian, ttapi wwaktu
tian bilang kkalo krisna nembak dddia, gw masih sakit feb!” indi tersedu.
“gw tau sayang, tapi jangan biarin diri lo terpuruk terus, lo
gak bisa selamanya nyalahin diri elo kan? Jadi sekarang mending lo pandangi
laut dan rasain anginnya, itu yang paling lo suka, bener gak?” suara febri
berubah 180 derajat, lembut dan penuh perhatian.
Ia melepas pelukannya, dan memandang jauh ke dalam mata indi,
berharap menemukan sinar di mata hijau terang itu, namun airmata masih
mengaburkan pandangan indi, dan badannya mulai terasa panas.
“in lo kenapa?” febri menyadari perubahan indi,
“gw belum makan feb” jawab indi, mengingat jarum jam di
arloji febri menunjuk arah 6, ini bukan masalah kecil, dan febri menarik lengan
indi mengajaknya ke salah satu restoran tak jauh dari tempat mereka.
“huffh, kenyaaaanggg” suara indi memberikan sedikit senyum
pada wajah cemas febri, “thanks feb, tanpa loe gw mungkin udah…” indi
memperagakan tangannya memotong lehrnya sendiri.
“gak nyangka ya gw bisa ngebales utang budi gw? Gw pikir Cuma
elo yang bisa nenangin gw, ternyata gw juga punya kesempatan” kata febri.
“tau deh, gw juga kaget, mungkin karna gw lagi laper ya
makanya gak mikir sehat, bisa-bisanya gue nangis Bombay begitu” indi memukul
pelan kepalanya,
“ya udah, kita pulang?” krisna menatap mata indi,
Indi tersenyum dan mengangguk, senyum pertama yang di liat
febri sejak ia mendatangi indi.
“in, lo gak papa kan?” tian menghampiri indi yang memasuki
rumah bersama febri,
“emang gue kenapa?” indi balik bertanya,
“gw gak tau, tadi mas febri kaya’ orang kesetanan nyariin
elo, gw pikir lu kenapa-kenapa, “ tian memeriksa keseluruhan tubuh kakaknya
dengan cemas.
“itu sih kebiasaan febri, elo kayak gak tau febri aja, gw
ketusuk jarum dia udah mo ngebawa gw ke rumahsakit”
febri tertawa kecil.
“sukur deh kalo gitu, udah makan lo?” tian kembali bertanya,
dan lega melihat anggukan indi.
“in, gw pinjem buku tentang animasi lo donk” febri membuka
suara,
“buat apa? Emank hukum ada hubungannya sama animasi,?” indi
sedikit keheranan, karena teman-temannya yang kuliah di jurusan hukum sama
dengan febri tak pernah meminta buku animasinya, karena jurusan yang di ambil
oleh indi adalah jurusan khusus yang jarang sekali berhubungan dengan jurusan
lainnya.
“buat ngias laptop, bosen banget gw” jawab febri asal,
“lo ambil aja di kamar, buku sampulnya warna pink, gw pengen
ke toilet bentar” kata indi.
“oke” jawab ebri sambil menaiki tangga menuju kamar indi.
“yang ini kan?” Tanya febri ketika indi masuk,
“yup, lo pulang gih, gue ngantuk banget” indi mengusir
“elo ya, uda di tolongin bukannya terimakasih malah
ngusir-ngusir gw, ya udah gw balik” febri pura-pura marah, namun aktingnya tak
berhasil sama sekali, karena indi tau, febri tak pernah sedikitpun marah
padanya hanya karena hal sepele seperti ini, indi tau, febri sangat
menyayanginya.
“ma’ap deh, gw Cuma pengen istirahat” jawab indi nyengir.
“iya, gw pulang ya, ati-ati”
“bukannya gw yang harusnya ngmong take care? Tanya indi
kebingungan,
“well, gw khan lagi gak pengen lompat dari atas
jurang ke laut” balas febri, membuat rona merah muncul di pipi putih indi.
“ok gw kalah, bye, gw gak kuat ke depan, jadi lo sendiri aja
ya.” Indi merebahan diri di atas tempat tidurnya, dan menutup kedua matanya.
Febri menatap indi sekejap, lalu berjalan kearah mobilnya.
Delapan..
Seminngu setelah kejadian di pantai, indi telah kembali menjadi
indi yang dahulu, ia bahkan telah
benar-benar menerima krisna sebagai ‘pacar adiknya’ dan ketika krisna sering
datang ke rumah mereka untuk sekedar say hello dengan keluarga tian, indi
menyambutnya dengan senyum tulusnya. Membuat febri sedikit bingung, “gw udah
mutusin buat ngelupain dia” alasan indi ketika ia menanyakan perihal
perasaannya.
Meskipun febri tidak sepenuhnya yakin dengan perubahan indi,
ia punya kesibukan lain yang menguras tenaganya, ayahnya memaksanya untuk
pindah ke prancis dan meneruskan kuliahnya di sana, yang membuat febri harus
berusaha keras untuk menolak kemauan ayahnya ini.
Tian yang beberapa hari ini selalu tersenyum senang membuat
indi semakin mantap melupakan cintanya pada krisna, ia tidak ingin sama sekali
membuat senyum itu hilang.
Dan ketika ayah mereka pulang dari prancis, membawa hampir
satu koper oleh-oleh untuk mereka, indi terpaksa harus menahan perasaannya
ketika malam itu mereka dinner, bersama ayah, ibu, febri, tian dan krisna,
karena tian secara resmi memperkenalkan krisna sebagai pacarnya.
“loe pinter masak ya?” krisna mengaggetkan indi yang sedang
termenung di depan kolam renang, menjulurkan kakinya sehingga benda itu menjadi
sangat dingin.
“maksud lo?”
“ tian cerita, katanya elo yang masak makan malam tadi?”
krisna mengebor mata indi, membuat indi salah tingkah.
“gw di bantuin sama bi ana kok” indi berusaha menyembunyikan
perasaannya.
“kalian di sini?” suara tian kembali mengaggetkan indi. “gw
cariin juga, mas febriiiiiiiiii, indi di kolam” teriak tian kemudian.
Febri sedikit berlari ketika menghampiri mereka, “in, ada
yang pengen gw omongin” febri menarik lengan indi.
Entah hanya perasaan tian atau memang ada kilatan merah di
mata krisna ketika febri menarik lengan indi. tian masih memikirkan kilatan
itu, sehingga dirinya terlonjak 2 centi dari lantai ketika ayahnya memanggilnya
untuk memberikan oleh-oleh.
Malam itu berlalu dengan sangat menyenangkan, dan ketika
febri dan krisna pamit pulang, tian hampir menangis saking tidak relanya.
“ma, ayolah…. Plisssss” tian menempatkan kedua tangannya di
depan dada sehingga ia seperti orang yang tengah berdo’a.
“tian kenapa tu ma?” indi yang baru pulang kuliah terheran
melihat tian dengan wajah yang begitu memelas,
“ada yang lagi ngerayu mama nih sayang,” jawab mamanya melirrik
kea rah tian.
“adduh ma, aku ne bukan ngerayu, udah jelas-jelas aku minta”
kata tian lagi.
“mau apa sih lu?” indi makin penasaran,
“lo tau minggu depan tu tanggal berapa?” Tanya tian pada
indi,
“minggu depan?” indi kebingungan demi melihat mata tian yang
membulat,
“tanggal 14 april!!!!” tian mulai kesal karena indi sama
sekali tak mengingat hari terpenting dalam hidupnya!
“oh, ulang tahun lo!?” kata indi bego, baru mengerti apa yang
diminta tian, perayaan ulang tahun pastinya.
“ya ma… ultah ke 16 belas lho… pliss…plisssplisss” tian
merujuk.
“aduh sayang, papa kamu baru pulang 3 hari yang lalu, masa
udah harus nyiapin pesta lagi sih?” mamanya memberi alasan,
“kalo masalah itu, temen aku punya birthday organizer, jadi
nanti dia yang ngurus semuanya, di kasi diskon lagi, jadi gak perlu repot ma…
ayo donk…” tian memulai.
“tunggu papa dulu, nanti tian nanya papa ya..” kata mamanya
menyerah, tian memang jika sudah menginginkan sseuatu pasti akan berusaha di
dapatkannya.
“dasar lo,” kata indi ketika melihat senyum tian.
“papa kalo di paksa dikit pasti langsung mau tau” kata tian
yakin.
“indiii, gw bilang juga apa, papa langsung bilang ia, horeee,
seneng deh gw…” lapor tian ketika malamnya mereka menikmati pizza yang di bawa
ayahnya.
“tian kalo maksa nyeremin sih” papanya beralasan, membuat
semuanya tertawa kecuali tian yang merenggut.
Sembilan..
“nih, terserah elo mau di apain, yang jelas jatah undangan
buat temen-temen lo udah gw kasi” tian menyerahkan undangan tersebut ke tangan
indi, sehari sebelum pesta. “and mas febri wajib datang” tambahnya sebelum
berangkat sekolah.
“kanapa…”
“mau gw pamerin ke temen-temen” sambar tian bahkan sebelum
indi menyelesaikan pertanyaannya.
“hah!? Lo kira febri barang langka apa? Di pamerin!!?” indi
memprotes, namun tian yang sudah terlambat berlari secepat kilat menuju halte
bis. Indi dan tian tak pernah berangkat bersamaan, karena selain indi yang
biasanya berangkat kuliah pukul 8, tian juga jera di antar indi, karena semua
teman cowo’nya akan memuji kecantikan indi. dan meskipun jika terpaksa indi
menjemputnya tian harus menunggu hingga sepi dahulu.
“…jadi lo harus datang” indi menceritakan kemauan tian pada
febri ketika mereka menikmati makan siang di kantin kampus.
“tapi gw kan bukan objek pengamatan!” kata febri,
“well, lo tau gimana anak-anak sma itu ngeliat lo khan?
Something like a prince” indi memberi tahu,
Febri mengankat bahu, dan memasukan sebongkah burger ke dalam
mulutnya.
“abhrs ibi aba kubiah?” febri bertanya dengan mulut penuh,
membuat indi mendelik kepadanya.
“maksud gue” febri menelan makanannnya “abis ini ada kuliah?”
“ada, HaKI” jawab indi pendek,
“owww, kalo gitu gw tunggu di taman depan ya” kata febri.
“mau gangguin cewek lo?” indi bertanya curiga,
“gak lha, Cuma mo godain dikit”
Pluk, sebuah pukulan mendarat di kepala febri, “sahabatnya
baru patah hati juga!! Dan febri terbahak.
“tian, elo udah cakep kok” kata indi setengah dongkol
setengah geli melihat adiknya yang tak kunjung beranjak dari cermin sejak 1
setengah jam yang lalu, “sekarang udah jam 7 kurang 20, kamu bahkan belon make
sepatu, temen-temen kamu udah banyak yang datang tuh” indi mengingatkan.
“MY GOD!!” tian histeris, “gw lupa, ambilin sepatu yang gw
beli kemarin dong, di bawah lemari” perintahnya. Dengan sabar indi mengambil
sepatu itu. Dan pergi menuju kolam renang, tempat di selenggarakannya pesta.
“tian ngapain sih di atas?” febri berbisik pada indi, karena
meskipun acara di mulai pukul 7.30 tian belum menyapa teman-temannya yang
datang.
“lagi dandan” jawab indi,
5 menit kemudian tian muncul dengan wajah merona merah,
berterima kasih pada semua yang datang, dan membuka acara bersama ayah dan
ibunya.
Krisna berdiri agak jauh dari tempat tian meniup lilin,
membuat indi tak hentinya menatap cowok dengan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku.
“kue pertama buat my parents,” kata tian ketika acara potong
kue di mulai. Tian menyuapi kedua orang tuanya dan mendapat sebuah ciuman di
pipi kanan kirinya. “yang kedua, buat my best sister,” kata tian lagi, dan
menyuapkan sepotong kue yang sangat besar ke mulut indi, sehingga indi harus
melebarkan mulutnya agar dapat menikmati kue itu. Semua tertawa ketika kue itu
jatuh, karena mulut indi tak cukup besar untuk menampung semuanya.
Indi memberikan sebuah pukulan kecil di kepala adiknya, dan
mencium keningnya.
“yang terakhir” wajah tian berubah merah, “buat my boyfriend”
membuat semua pandangan tertuju pada krisna, yang maju dengan wajah sama
merahnya.
Acara formal selesai, dan semuanya kemudian berdansa dan
menghabiskan malam dengan ceria.
“mas febri, dansa ma aku ya…” tian menarik tangan febri, “elo
sama krisna tuh” lanjutnya pada indi.
Indi punya kecurigaan besar kenapa tian mengajak febri
berdansa, dan ketika di lihatnya teman-teman tian menjerit tertahan sewaktu
tian mulai berdansa dengan febri, kecurigaannya terbukti.
Febri memang selalu menjadi pusat perhatian daimanapun ia berada,
terutama perhatian cewek, karena postur tubuhnya yang atletis, kulitnya yang putih,
tingginya yang mencapai 175cm, dan wajah belasterannya yang menggoda., dan
sikap dinginnya yang melengkapi penampilan fisiknya.
Tapi bagi indi, febri tetaplah febri, tanpa semua
kesempurnaan yang melekat pada febri, febri tetaplah sahabatnya, saudara
laki-laki yang tidak di punyai, ia seperti dikirim khusus untuk indi. indi
selalu merasa aman dan nyaman berada di samping febri. Ia menyayangi febri,
karna febri selalu berada di sampingnya, mendampingi indi sejak mereka pertama
bertemu saat masuk di sekolah menengah pertama dulu. Indi bahkan tidak ingat
bagaimana dia bisa akrab dengan febri, yang ia tau, febri memang selalu ada
untuknya.
Indi tersentak ketika seseorang menarik tangannya dan
memaksanya ke lantai dansa, saat berikutnya ia mendongak. Krisna.
Indi menurunkan wajahnya, takut ada yang menyadari wajahnya
mulai memanas.
Mereka berdansa lama sekali, dan indi yang langsung tersadar
bahwa di situ ada tian, melayangkan pandangannya liar, mencari sosok tian, dan
betapa leganya ia ketika melihat tian sedang berdebat seru dengan teman-temannya,
tanpa memperhatikan indi dan krisna.
Dengan gerakan tiba-tiba krisna kembali menarik lengan indi,
menuju ke dalam rumah. Krisna baru melepas pergelangan tangan indi ketika
mereka sampai di taman depan rumah yang sepi.
Jantung indi berdegup tak karuan ketika krisna memandangnya.
“udah cukup sandiwara ini” krisna membuka suara.
“mma…mak..maksud l..lo?” indi menatap sepatunya.
“aku sayang kamu ndi!” krisna membuat hati indi terlonjak,
tanpa sadar ia merasa begitu bahagia, namun sedetik kemudian ia berkata “suka
sama gue?! Cewek elo tu tian!”
“ma;af ndi, tapi aku gak pernah suka sama tian!” krisna
tertunduk
Indi tersentak kaget, “terus, maksud elo pacarin dia apa!”
emosi mulai menguasai indi,
“aku.. aku Cuma pengen bisa deket sama kamu lagi” suara krisna
mulai bergetar,
“loe manfa’atin tian?”
“aku gak tau mesti gimana lagi buat bisa ngeraih kamu indi,
aku bingung banget kenapa kita jadi jauh
begini. Aku gak tau kenapa kamu marah sama aku, gak mau ketemu aku dan bahkan
gak mau ngomong sama aku. Aku pikir ini jalan satu-satunya untuk bisa nyari tau
alasan kamu benci banget sama aku. Jadi aku pacaran sama tian biar bisa bebas
ketemu kamu. Aku tau ini salah, dan ini brengsek, tapi kamu bikin aku putus
asa,” suara krisna bergetar.
“itu karena kamu udah ngebo’ongin aku krisna!!! Indi mulai
histeris, ia kaget mendengar pengakuan krisna.
“maksud kamu apa in? kapan aku bohong sama kamu?”
“aku nunggu kamu hampir 3 jam, aku yakin kamu bakal ngejemput aku! Tapi kamu gak pernah
datang” kata indi ikut beraku-kamu. “aku sedih karna kamu gak ngehubungi aku
sama sekali, bilang gak bisa jemput atau gimana. Dan aku makin shock waktu liat
mobil kamu di lampu merah dan ternyata kamu lagi sama cewek, pelukan” suara
indi pecah
Butuh waktu lama bagi krisna untuk mengerti maksud
pembicaraan indi, dan setelah berpikir keras, sebuah ingatan muncul di
kepalanya.
“maksud kamu, kejadian beberapa bulan yang lalu? Tapi ndi,
itu udah lama banget! Dan perlu kamu tau!! Cewe’ yang kamu liat itu! Adik aku,
nira!! Adekku indi!!” krisna menegaskan. “waktu itu, mama masuk rumah sakit!
Dan nira nangis karena dia pikir mama kenapa-kenapa! Trnyata mama nabrak orang,
dan orang itu yang luka. Makanya mama suru aku jemput di RS karena mobilnya masih di kantor polisi!”
krisna menatap mata hijau cerah yang banjir air mata itu.
“tt..ttpi… tian… tian suka sama kam kris!!”
“dan aku gak pernah sedikitpun suka sama dia! aku suka sama
kamu in, sejak kita ketemu pertama kali!!” suara krisna berubah.
“tapi kamu udah terlanjur pacaran sama tian!!” indi bersikeras,
“aku bisa putusin dia sekarang!”
“dan ngebuat adek aku patah hati? Hebat banget kamu!”
“aku Cuma pengen yang terbaik indi! aku gak cinta sama tian.
Dan kalo aku terus-terusan ngebo’ongin dia, bakal lebih sakit”
Hening,
“satu hal yang aku pengen denger” krisna memulai “kamu suka sama
aku?”
Indi mengangguk perlahan, dan krisna menariknya dalam
pelukan.
“makasih indi, makasih karna kamu juga suka aku” suara krisna
terdengar lega.
“wow, drama yang mengesankan banget!!”
Suara itu bagai halilintar yang menerjang indi. tian berdiri
bagai patung, wajahnya pucat, seluruh tubuhnya gemetar, dan airmata menghiasi
matanya yang berkilat merah.
“hebaat” tian menepuk kedua tangannya, “kado paling indah
yang gue terima seumur hidup gue” suara tian begitu hampa.
“indi melepaskan diri, berlari menuju tian,
“ian, denger… ini gak…”
Plak
Sebuah tamparan mendarat di pipi indi,
“gw percaya sama elo, dan elo nyia-nyiain itu in..” airmata
membanjiri pipi kedua gadis itu. “elo suka sama krisna? Padahal loe tau gue
cinta mati sama tu cowok! jadi ini alasan kenapa elo sering kaget waktu gue
cerita soal krisna? Sekarang gue ngerti semua makna tingkah laku elo selama
ini!” tian menatap lurus-lurs, menghindar dari pandangan indi.
“dan elo” lanjut tian dengan nada menuduh yang begitu
menyeramkan, “jangan sekali-sekali loe berani muncul di hadapan gue lagi!!”
karna gue gak yakin gue bisa nahan gak ngebunuh elo!!” meskipun indi tau ini
hanya gertakan tian, namun mau tidak mau ia melihat bahwa wajah tian begitu
menderita.
Tian berlari masuk menuju kamarnya, tak di pedulikan beberapa
puluh mata yang mulai
bergerak ke ruang depan, karena pusat keributan ada di sana, namun yang mereka
lihat hanyalah, seorang gadis dan 2 orang laki-laki dengan wajah merah.
Febri menarik indi dalam pelukannya, memaksanya untuk kembali
ke kamar, dan memberi isyarat pada kedua orang tua yang tengah ternganga
bingung, agar menutup acara tanpa kedua putri mereka.
indi menangis sesenggukan, seluruh tubuhnya terasa kebas,
yang ia rasakan hanya kesakitan luar biasa tepat di dadanya. Dan meskipun febri
masih memeluknya, indi merasa ia akan jatuh ke dalam lubang yang teramat dalam.
“gguu…gg…ggu…. Hiks, gguue ggak berm..ma…maksud… hiks… namun
tenggorokan indi tercekik, jangankan untuk berbicara, bahkan menarik napas pun
ia tak sanggup.
“gue bakal ngbujuk tian, loe tau gimana dia ngormatin gue kan!?”
febri mencoba membujuk indi. namun bahkan indi tak mendengar.
“ggue… gue… hiks… gue…” suara indi melemah, membuat febri
sedikit cemas.
“loe mending istirahat, besok semuanya bakal jauh lebih baik.
Karna tak mampu untuk membalas indi berbaring, berusaha untuk
tidur tanpa melepas gaunnya. Febri menyelimutinya dan mengecup pipi indi,
berbisik “semuanya bakal baik-baik aja, gue janji!”
Febri berdiri mematung di depan pintu dengan tulisan ‘tian
rooms’ itu, berpikir apakah baik bila ia menganggu tian sekarang. Namun detik
berikutnya ia telah mengetuk pintu, dan bersukur Karena pintu itu tidak di
kunci.
Hal pertama yang di lihat febri adalah foto besar dua orang
gadis yang berusia sekitar 6-7 tahun, bermain di taman yang indah, seorang di
antaranya, memegang bunga lili putih dengan senyum lebar—indi— dan yang lainnya
tertawa menuju kamera. Foto itu berbingkai emas, dan pasti jarang di bersihkan,
karena kacanya sedikit berdebu.
Suasana kamar tian telah jauh berubah sejak ia memasukinya
terakhir kali, ia bahkan lupa kapan.
febri melayangkan pandangannya ke seluruh kamar, dan melihat
bahwa tian tengah duduk menghadap jendelanya, memandang jauh ke malam yang
pekat.
febri menghampiri tian, mengambil tempat di samping tian yang
termenung.
Menyentuh bahu orang yang telah di anggapnya adik sendiri itu. Tian sedikit kaget melihat
febri, rupanya ia bahkan tak menydari bahwa febri memasuki kamarnya.
“hy” febri menatap mata coklat tian.
“kalo mas ke sini buat ngomongin masalah tadi, mending mas febri
pulang!” tian langsung ke pokok permasalahan.
febri yang melihat air mata segar membanjiri pipi tian,
mengambil keputusan untuk tidak membicarakan apa yang menjadi maksud dan
tujuannya.
“nih” krisna menyodorkan sebuah kado pada tian, “tadi aku
belum sempet ngasi tian kado.” Lanjutnya. .
Tian menerima kado itu tanpa senyum, sulit baginya untuk
tersenyum, hatinya masih terasa sakit.
febri berdiri dan pulang, memtuskan lebih baik ia mencoba
membujuk tian besok.
Sepuluh..
Tian menyerah, matanya begitu lelah untuk terbuka, dan ia
juga tak berniat untuk sekolah, dan bertemu dengan krisna. Krisna, bahkan
menyebut namanya membuat jantung tian berdegup lebih lambat. Rasanya hatinya
kelu dan dadanya begitu sesak.
Tian tidak tau jam berapa ia tidur semalam, yang ia tau
hanyalah perasaannya begitu hancur, tian tidak bisa memutuskan mana yang lebih
di bencinya, krisna yang hanya memanfaatkannya atau indi yang menghianatinya.
Ia memang baru mengenal krisna, jadi tian tidak begitu merasakan hatinya yang
patah, ia hanya begitu saja membenci krisna. Tapi indi kakaknya, ia mengenal
indi seumur hidupnya, dan indi berbohong padanya. Ia menghela napas, dan
menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
Indi memandang kamar tian, berharap tian keluar. Namun tak
ada tanda- tanda ia akan sekolah. Inndi tidak yakin apakah ia berani mengetuk
pintu itu, apakah ia berani melihat kekecewaan tian dan kemarahannya. Indi
hanya berdiri disana, menatap kosong pintu itu.
Orang tuanya menyambut indi dengan senyum tipis dan menatap
putri mereka, minta penjelasan. Namun indi yang begitu malas untuk sarapan,
mencium tangan ayah dan ibunya dan segera menuju mobilnya, membuat ayahnya
sedikit menjerit memanggil nya.
“indii, tunggu dulu!”
Indi berbalik, dan mendapati orang tuanya mengejarnya.
“sekarang jelasin semuanya! Sejak semalam papa sama mama
kebingungan! Ada apa sih? Papa gak suka anak2
papa berantem!!”
“semuanya karena aku pa” indi berkata lemah, ia berbalik dan
pergi.
“gimana?” febri menghampiri indi, di taman.
“so bad” kata indi mengerti apa yang di maksud febri. Tadinya ia berkata pada orangtuanya,
kejadian ini karna kesalahan krisna, namun indi sadar, ini semua jelas-jelas
salahnya. Indilah yang egois, dia yang begitu maruk dan serakah. Indi
menghembuskan napas kesal. Marah pada dirinya sendiri.
Febri terdiam,
menggenggam tangan indi, berharap dapat meredakan apapun perasaan indi saat
ini.
Indi memasuki rumah dengan perasaan takut, takut bertemu dengan
tian.
“bi, tian mana?” indi bertanya cemas,
“lagi berenang non” kata bi ana.
“ohhh” tian menuju kamarnya, namun di tengah perjalanan ia
bertemu dengan tian. Jantungnya serasa berhenti.
Tapi bahkan melihat indipun tian enggan, ia melewati indi
seakan indi hanyalah sebuah patung. Tian bertanya pada bi ana dengan suara
nyaring janggal “bi, pizza aku mana?”
Indi berlari memasuki kamarnya. Menangis.
“feb, gue gak tau gimana caranya baikan ama tian!” kata indi
ketika sorenya febri mengunjungi indi.
“gue belon sempet ngomong ama dia,”kata febri prihatin.
“gue…” kata-kata indi terpotong karena tian berjalan kea rah
mereka.
Ketika melewati kedua orang yang tengah duduk di teras itu,
tian berpura-pura dua orang itu adalah patung, dan ketika febri bertanya “mo
kemana ian?” tian bahkan tak berpaling. Dan sedikit berlari menuju jalan raya.
“lo liat? Dia gak nganggep gue ada feb!!!” bulir airmata
mulai jatuh.
febri merangkul bahu indi, menenangkannya. Febri tau, hati
indi begitu perih.
“gue pengen dia marahin gw feb, maki-maki gue, itu lebih baik
daripada di ngediamin gue kaya’ gini!!” febri mengerti, tian memang selalu
menumpahkan amarahnya, jika dia kesal pada seseorang, dia selalu mengeluarkan
kekesalannya itu pada orang yang membuatnya merasa demikian, namun sekarang
febri merasa bahwa tian benar2 tak berniat mema’afkan indi.
“feb, anterin gw ke pantai” indi tiba-tiba berdiri. Febri
lalu mengeluarkan tigernya, dan mereka meluncur kearah pantai.
Langit senja itu seakan mengejek indi yang menangis, menatap
kosong warna biru yang terhampar di depannya. Dia selalu ke tempat ini jika
mempunyai masalah, dan setelah memandang langit biru senada dengan lautnya indi
merasa amat lega.
Febri memeperhatikan wajah indi yang begitu pucat, dan
meremas tangannya.
“loe tau feb? semalem gue mikir, seandainya gue gak pernah
ngebenci krisna, seandainya gue gak ngebiarin krisna di ambil orang, gue yakin
semuanya gak bakalan jadi kaya’ gini. Gw kehilangan 2 orang yang begitu
berharga buat gw, tian dan krisna. Meskipun gw tau gw gak seharusnya mikirin
cowo’ itu lagi ketika gw berantem ma adek gw karena dia, kenyataannya gw sayang
sama dia feb, dan gw emang gak bisa mgelupain dia.” Suara indi teasa hampa.
Febri mematung, degup jantungnya begitu lemah, indi… begitu
cintanya kah indi terhadap laki-laki itu? Bahkan di saat dia menderita Karena
laki-laki itu, ia masih sempat memikirkannya, berharap krisna menjadi belahan
hatinya.
Langit telah menjadi hitam ketika akhirnya indi berdiri, dan
mengajak febri pulang.
Setidaknya indi dapat tersenyum sewaktu mereka meninggalkan
pantai itu.
“besok lo mo kemana? Ke taman mini??” febri menawarkan ketika
mereka di dalam mobil.
“Gue rasa gue butuh istrahat, tian juga minggu biasanya
latian pramuka. Kata indi.
“ya udah, terserah elo aja” kata febri.
“elo sendiri? Mau ngapaend?”indi bertanya balik
“paling di rumah, gue juga ge males keluar..”
“trus ngapaen lo ngajak gue jalan-jalan” Tanya indi bingung,
“well, kalo ama loe kemanapun gue gak akan males” kata febri
membuatnya mendapat hadiah cubitan dari indi.
“iya, loe emang gak males, soalnya kalo pergi sama gue elo
bisa makan gratis! Dan ngebuat gue bangkrut!” kata indi lagi
Keduanya kemudian tertawa. Tawa pertama yang di lihat febri
sejak kemarin,.
Tiger itu tiba di depan rumah indi, indi turun dan
berterimaksih pada febri, mengajaknya massuk yang di tolak dengan alasan
ngantuk oleh febri.
“halo, tian?” suara febri
“iya mas, kenapa?”
“bisa ketemu sekarang? Mas tunggu di platinum ya? Kita makan
siang bareng” kata febri,
“ok” jawab tian singkat.
“kenapa mas?” “ada yang pengen mas omongin, tapi mending kita
makan dulu”
Keduanya terlibat obrolan seru, tak ada satupun yang
menyinggung soal masalah tian dan indi.
Baru setelah makanan di piring mereka habis, febri membuka
percakapan pokok.
“well, aku yakin kamu udah tau tujuan aku ian” kata febri
mulai serius.
Wajah tian memerah, febri benar, ia tau maksud febri dan
karenanya tian mengangguk perlahan.
“jadi, kamu belum bisa ma’afin indi?”
Tian menggeleng, dan dengan mata merah ia berkata “mas, gak
mudah nerima kalo orang yang mas sayang suka sama orang lain, dan parahnya,
kalo orang itu adalah kakak mas sendiri.
“tapi itu gak ngejelasin kenapa kamu musuhin indi kan dek?
Mas gak nyalahin kamu kalo kamu mo berantem sama krisna, dia emang salah, tapi
indi?”
Di lihatnya tian menunduk, dan melanjutkan “kamu Cuma mo
nyari seseorang yang bisa kamu salahinm, karena kamu gak puas nyalahin krisna
aja, tapi kamu tau ian, itu ngelukain perasaannya indi.”
“mas emang selalu mikirin perasaannya dia kan” tian berbisik.
“mas tau perasaan kamu!! Dan mas juga ngerti kalo kamu sakit
hati!” kata febri berang, “dengerin mas!!! Indi ngorbanin perasaannya buat
kamu, adeknya, tian! Mas sebenarnya gak boleh cerita ini ke kamu, tapi biar
kamu tau, indi juga suka sama krisna!! Dan mereka saling jatuh cinta, jauh
sebelum kamu pacaran ma krisna!” febri berhenti untuk melihat reaksi tian.
Namun tian hanya menunduk, febri yakin tian tau tentang hal ini. Jadi dia
melanjutkan “indi tau kamu juga suka sama krisna, jadi dia berusaha ngelupain
krisna, dan itu bukan hal yang mudah tian! Indi nyembunyiin perasaannya, karna
gak mau kamu terluka. Dan kamu ngebalesnya dengan cara yang begitu buruk tian!
Mas gak nyalahin kamu, tapi tolong, mikir gimana kalo kamu jadi indi, nahan
perasaan kamu tiap kali ngeliat krisna bermesraan dengan adiknya! Mas yakin
kamu bakal mikir seratus kali untuk nampar indi” febri berhenti, meminum
sirupnya.
Tian tak mengeluarkan satu pun kata, hanya isakan yang
terdengar.
Mereka berdua bungkam, febri menunggu tian membuka mlut, dan
setelah lama menunggu tian mengangkat wajahnya “aku sayang krisna mas, dan gak
akan mudah buat aku ngerelain dia! Indi juga ngeboongin aku, kenapa dia gak
bilang sama aku kalo dia suka sama krisna dari dulu?”
“kamu tau? Apa yang kamu rasain ini adalah yang indi rasain,
kamu bahkan gak mau ngelepas krisna, tapi indi? indi ngebiarin cowo yang dia
sayang buat kamu ian. Dia bukannya bohong, dia gak mau berebut sama kamu, dia
mau ngelepas krisna demi kamu” Febri menatap mata tian.
“Kenapa dia harus suka sama krisna mas!! Kenapa!!!” tian
berteriak histeris. Membuat beberapa orang yang duduk di sekitar mereka
memandang curiga pada febri.
“denger!! Kalo di suru milih, indi gak bakalan suka sama
orang yang sama tian! Tapi, gak ada yang bisa nyegah perasaan yang namanya
cinta! Gak ada!! Dan satu hal, ketika perasaan itu datang sama kamu, gak ada
yang bisa kamu lakuin untuk ngebuang perasaan itu ian! Dan mas bangga sama
indi, karena dia udah berhasil ngejaga perasaannya biar gak meledak!”
“mas, mas tu gak tau gimana perasaan aku!! Sakit mas, sakiiit banget!! Aku gak terima kalo
ternyata krisna pacaran ma aku karena indi, ngerelain dia buat indi! gak mas!!”
“jangan ngajarin aku tentang perasaan ian” kata febri keras
“tapi kenyataannya! Mas febri gak punya seseorang yang mas
relain buat orang lain, Mas selalu ngedapatin apapun yang mas mau!” suara tian
meninggi.
Febri terdiam, dan berkata lemah,
“orang yang tau perasaan kamu sekarang, adalah mas, ian” di
lihatnya wajah tian tak mengerti, tian baru membuka mulut untuk membantah
ketika febri melanjutkan “mas suka sama indi!”
Tian ternganga, kaget, ia seperti di sihir menjadi batu, baru
beberapa menit kemudian tian mampu berbicara lagi “apa!?” adalah kata pertama
tian.
“mas minta kamu janji, gak akan ngebocorin rahasian ini ian!”
tian mengangguk
Tian menunggu cerita selengkapnya,
“mas suka sama dia dari dulu banget, bukan suka, bukan. Mas
mencintai indi, mungkin sejak mas ketemu pertama kali sama dia…”
“trus kenapa mas gak bilang?” tian memotong,
“alasan sama yang selalu di katakan orang, gak pengen
ngerusak persahabatan” lagi-lagi ian baru membuka mulut ketika febri
melanjutkan tak sabar “posisi mas di hati indi Cuma sahabat, gak lebih tian.
Dan mas cukup seneng selalu ada di dekat dia. Mas gak pernah nemuin cowo’ yang
berani ngenggangu —maksud mas—, yang pacaran ma dia, kkarena tiap cowo yang
nembak indi, selalu di tolak. Itu ngebuat mas seneng ian, karena artinya mas
punya kesempatan ngelindungin indi lebih lama. Tapi semuanya berubah waktu dia
kenal krisna, untuk pertama kali dalam hidupnya indi jatuh cinta ian, dan bukan
sama mas, mas ngerasa seperti langit jatuh nimpa mas, indi yang selalu mas
puja, yang ngebuat mas bahagia, jatuh cinta sama orang lain” febri menatap mata
tian yang basah, “jadi jangan ngajarin mas soal kesakitan hati tian! Kamu baru
kenal sama krisna, belon sampe setaun kan? Kamu bisa bayangin mas yang nyimpen
perasaan lebih dari 7 tahun? Mas udah gak bisa ngerasain sakit ian, Karena hati
mas udah terlanjur terkoyak !!” febri tertunduk, lega rasanya menceritakan
semua kisahnya. Selama ini ia selalu memendam perasaan ini.
“aku…” tian ingin menyampaikan rasa simpatinya, namun yang
keluar hanya satu kata.
“jadi tolong ian, be strong! It can help you! Indi menderita
kamu mushin kaya’ gini, dia nangis terus, dia sayang kamu tian!” febri kemudian
berdiri, dan menarik lengan tian. “ikut aku”
Setelah membayar makanna yang mereka makan, mereka keluar
dari platinum kafe dan meluncur menuju jalan thamrin.
“kita mo kemana mas?” tian berteriak, karena suara angin
menderu begitu keras.
Tiger itu melambat di halaman rumah yang cukup besar. Membuat
tian menjerit tertahan. Krisna home’s.
febri mengetuk pintu, dan seorang gadis keluar untuk
memepersilahkan mereka masuk.
“krisna ada kan?” Tanya febri yang di jawab dengan anggukan.
Tak begitu lama mereka menunggu, krisna datang dengan wajah
kebingungan.
“gue langsung aja” kata febri ketika krisna duduk. “sekarang
gue pengen kalian ngomong baik-baik! Tian plis, kali ini aja kamu lupain bentar
masalah di ultah kemaren! Dan elo krisna! Gue mau elo ngomong dari hati loe
yang sejujurnya tentang perasaan lo!!” kata febri lagi.
Tian dan krisna tertunduk, tak ada yang membuka mulut. Dan
setelah hampir 15 menit hening, krisna brkata “tian, gue tau elo pasti ngutuk
gue! Gue minta ma;af karena udah manfaatin perasaan elo! Gue gak bermaksud
nyakitin elo, waktu itu gue bingung tian…” krisna memandang tian, melihat tak
ada reaksi apapun, ia melanjutkan “gue sayang banget sama indi, tapi sejak
beberapa bulan lalu, dia ngejauhin gue karena alasan yang baru gue tau kemarin!
Gue pikir, kalo gue deketin dia lewat elo, gue bisa ngebuat semuanya jadi
normal. Tapi gue salah besar, gue malah ngebuat ini jadi tambah rumit. Gue nyesel tian! Ma’afin gue!” suara krisna
benar-benar lemah.
Tian mengangkat wajahnya, “loe tau gimana sakitnya perasaan
gue?” katanya dengan penuh amarah.
“gue tau ian, gue tau karena gue juga ngerasain hal yang sama
kaya elo!”
“maksudnya?” tian sedikit kebingungan.
“gue tau gimana kondisi hati loe tian! Hati gue juga gitu,
tiap kali gue ngeliat indi bareng dia—krisna menunjuk febri—gue sakit!”
“kenapa elo gak nyoba untuk bilang semuanya sama indi!” suara
febri mulai terdengar marah. “kalo elo suka sama indi, jangan jadi pengecut
kaya’ gini!”
“gue…” krisna terdiam.
“kalian tau? Karena elo indi hampir ngelakuin hal konyol!
Kamu ingat ian? Hari dimana aku kesetanan nyari indi? hari pertama kamu jadian
sama krisna!” emosi benar-benar merasuki febri kini.
Tian mengangguk perlahan dan febri melanjutkan “aku langsung
ngerti waktu kamu cerita kamu pacaran ama krisna tian! Aku ke tempat indi
biasanya pergi kalo dia lagi seneng, marah kecewa, stress! Dan aku nemuin dia
di mulut jurang, begitu dekat sampai-sampai angin mungkin akan mendorongnya ke
bawah. Aku negbentak dia, aku marah2 sama
dia! Dan setelahnya dia nangis, tangisan pertama yang ngebuat dia begitu
menderita! Semuanya karena kalian!” suara febri meninggi.
Tian mendekap mulutnya dengan tangan, sedang wajah krisna tak
berekspresi yang terlihat hanya warna putih ke abuan.
“indi bener-bener sakit! 100 kali lebih sakit dari pada
kalian berdua! Krisna cinta pertamanya dan tian adik kesayangannya, bisa kalian
bayangkan dilema apa yang merasuki indi?” suara febri pecah.
Hening, tak satupun dari mereka kemudian berbicara.
“kita pulang sekarang! Aku rasa aku punya utang yang harus di
bayar ke indi” tian menangis dan berjalan menuju pintu.
“aku ikut” kata krisna.
Dan ketiganya pergi menuju rumah indi.
sore itu begitu indah, langit tak berawan dan cuaca Jakarta
pun sedikit berangin, indi termenung di pinggir kolam, memandang wajahnya yang
terpantul di air.
“indiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii”
Suara tian begitu keras terdengar, membuat indi terlonjak
kaget, dan belum sempat ia meredakan kekagetannya, tian berlari menerjangnya,
menariknya dalam pelukan.
“ma’afin gue… hiks… gue udah jahat ma elo..hiks” tian terisak
dalam pelukan, wajhnya memerah.
Indi yang masih di liputi shok berat memandang heran ke dua
cwo’ yang bergegas mendatangi mereka.
Tian melepaskan pelukannya, menatap wajah kakaknya dan
bergumaam “gue ikhlas apapun yang terjadi ma elo dan krisna” membuat mata
indimembulat.
“gue minta ma’af udah bersikap egois” lanjut tian, indi
semakin tercengang.
“elo…elo…” indi terbata-bata.
“sekarang..” tian menarik tangan kakaknya mendekat ke arah
krisna “kalian resmi’in aja” lanjutnya setelah menyatukan kedua tangan milik
krisna dan indi membuat keduanya tersipu malu.
Krisna menarik indi dalam pelukannya, tak menyadari bahwa
laki-laki di sampingnya membeku.
“apa yang ngebuat elo ma’afin gue ian?” Tanya indi ketika
malam itu mereka beranjak tidur.
“ma’afin lo? Gak, ngapaen gue ma’afin loe? Kalo dari awal elo
sama sekali gak salah.” Kata tian.
“tapi…”
“gue gak berhak misahin dua insan yang saling mencintai in”
kata tian lagi, dan pergi menuju kamarnya sambil menguap.
Sebelas..
Minggu itu adalah minggu terindah dalam hidup indi, akhirnya
ia dapat merasakan kebahagiaan dalam beberapa bulan terakhir ini. Rasanya sulit
di percaya ketika ia berada di dalam pelukan krisna ketika mereka mencoba
tornado, salah satu wahana terseram di dufan, hari sabtu ketika indi berkata
bosan di rumah.
“…dan dia meluk gue waktu gue teriak ketakutan” indi bercerita dengan semangat 45 pada febri.
Ketika sore itu mereka duduk di depan teras. “gue ketemu sama ines dan tira,
mereka kaget ngeliat gue jalan bareng krisna, berondong gitu lho.. tapi what
ever, gue gak peduli!” lanjutnya.
Febri mendengarkan dengan hati teriris. Namun mencoba untuk
bertahan ia bertanya “besok minggu, kita ke water boom yuk?”
Namun indi berkata “hah? Jangan besok, Minggu depan aja ya,
besok gue mau ke bandung, ngunjungin tantenya krisna. Loe ikut aja…” ajak indi
antusias. Namun febri menolak, dan dengan goyah ia bangkit, dan mohon pamit.
Febri melemparkan tasnya di tempat tidur, dan memandang foto
indi di samping tempat tidurnya.
Ia kemudian terduduk lemas di kursi belajarnya. Sejak hari
itu, hari dimana indi dan krisna benar-benar menjadi sepasang kekasih, febri
sadar dimana sebenarnya ia berada. Satu minggu lebih ia menghitung,
pertemuannya dengan indi yang begitu singkat, mereka kini jarang berdua, karena
selalu ada krisna, dan keberadaan krisna tersebut membuat febri seakan berada
di dunia orang lain.
Febri menghela napas berat, apakah ini saatnya dia pergi? Apakah
ini saat untuk menjauh? Ya, indi tak membutuhkannya lagi, ia telah menemukan
krisna, laki-laki yang selalu ada untuknya, jadi untuk apa febri di sini??
Ia meraih telepon yang terletak tak jauh darinya, menekan
nomor yang ada di agendanya dan ketika suara di seberang menjawab ‘hello’ ia
tertegun. Febri tak yakin apa ini baik. Namun ketika sekali lagi suara itu
berkata “hello” febri berkata gugup “he…hello… may I speak to… Mr.handoyo?”
“sure, who is calling please?” suara wanita
itu lagi.
“I’m his son, febrio! Kata febri. Dan wanita
itu terpekik kaget, “ow sorry, I will tell him, wait a moment please!”
Tak berapa lama, suara yang begitu di kenalnya membuat febri
bergidik, “hello, febri? What happened? Tumben kamu nelpon?”
“pa, papa bilang pengen aku sekolah di paris khan?” kata
febri.
“ya,” jawab papanya antusias, “do you want to that?” dan febri menjawab yes.
Terdengar suara senang dari seberang, “aku mau berangkat
besok!” kata febri lagi.
“wwhaat? Besok? Kenapa mendadak??” papanya kaget,
“well, papa bisa atur itu kan??” febri ragu-ragu,
“of course! Papa suru anak buah papa pesankan sore ini juga.
Kamu tinggal sama madame jones, dia temen baik papa dan mama! Dia orang yang
ramah!”suara papanya kentara sekali puas. “nanti biar papa suru orang untuk
ngurus kepindahan kamu, sura-surat yang kamu butuhkan dan semua keperluanmu
biar dia yang urus. Paspor dan visa kamu juga sudah beres”
Dan febri mematikan telepon itu, perasannya campur aduk,
namun sakit adalah yang mendominasi.
Malam mulai beranjak turun,
gelap dan dingin, sama seperti hati febri, papanya baru menelpon dari
London, ia akan berangkat besok pagi pukul 9 yang artinya ia takkan bertemu
dengan indi, karena indi ke bandung pagi sekitar pukul 8. ini membuat perutnya
melilit, dan kepalanya terasa pening.
Ia mencoba berbaring, seluruh pakain dan perangkatnya telah
di bereskan oleh pamannya. Namun hatinya gelisah, dan ia tak tahan lagi. febri
berlari mengeluarkan corolla dari garasi dan dengan kecepatan 100km ia
mengemudi menuju rumah indi.
Mobil itu berhenti tepat di depan gerbang, jam di arloji
febri menunjuk angka 8kurang, ia takut jika indi keluar bersama febri mengingat
itu malam minggu. Dan lega ketika mendapati indi bersama tian menonton acara
tivi di ruang keluarga bersama ibu mereka.
Indi sedikit kaget melihat krisna, karena baru tadi sore ia
datang.
Namun febri mengajak tian untuk ngobrol sebentar, setelah
beramah tamah dengan ibunya dan indi.
Mereka keluar dengan pandangan curiga indi yang di abaikan
oleh febri.
“da apa mas?” Tanya tian penasaran ketika mereka duduk di
kolam renang, yang agak jauh dari ruang keluarga.
“ian, kamu bisa jaga rahasia kan?” kata febri berat.
Tian mengangguk bingun, namun tak berkata apapun.
“kamu bisa khan jagain indi buat aku?” kata febri membuat tian
semakin bingung. “aku tau dulu aku pernah bilang, kalo aku kuat dan berharap
kamu niruin ketegaran aku…” febri mulai menjelaskan, tian mencoba mengerti
maksud dari percakapan ini.
“tapi aku rasa sekarang aku benar-benar gak tahan ian, aku
rasa cukup!” febri menarik napas dalam, dan berbisik amat perlahan “besok aku
ke prancis” membuat tian tersentak kaget, ia memandang febri, mencari adanya
sinar lelucuan, namun mata itu hanya memperlihatkan kesedihan yang mendalam.
“aku tau ini bakal
sulit, tapi akan lebih sulit kalo aku di sini, indi udah nemuin orang
yang bisa nemenin dia, dan tempat aku udah tergeser ian, aku gak bisa
mempertahankan tempat itu, dan mutusin buat ngelepasnya. Aku bakal lanjutin
kuliahku di prancis, meskipun aku gak terlalu nguasai bahasanya, tapi sedikit
banyak aku bisa ngerti. Aku nyerah ian, aku bakal ngebiarin perasaan aku
terpendam selamanya” febri melanjutkan dengan air mata yang mulai mengambang di
pelupuk mata abu-abunya.
Tian paham maksud febri sekarang, dan meskipun ia marah pada
laki-laki yang dulunya pernah menegarkannya ini, mau tak mau tian melihat bahwa
ekspresi dan sorot mata febri menyiratkan sesuatu yang begitu di pahami oleh
tian.
“tapi mas, posisi mas di hati indi gak akan pernah dapat di
gantikan, mas tau pasti dia akan menderita kalo di tinggal mas, dia sayang mas!”
tian menahan emosinya demi melihat airmata yang akhirnya jatuh di wajah febri.
“dia punya krisna, dan mas yakin krisna bakal ngehibur dia”
kata febri
“tapi….”
“tian plis, mas takut, takut kalo perasaan mas meluap dan
ngancurin semuanya! Mas gak kuat lagi tian!! Belakangan ini mas nyoba nerima
kalo indi udah jadi milik krisna, tapi gak berhasil! Mas sakit tian!” suara
febri bergetar.
“aku…aku…” tian tak tau bagaimana mengungkapkan keingananya.
“kamu janji bakal ngejaga indi buat aku? Jangan biarin dia
nangis ya…” kata febri.
Tian tersenyum kecut “gak mungkin dia gak nangis kalo tau mas
ninggalin dia!”
“mas tau, tapi malam ini mas pengen ngabisin waktu sama
indi.” kata febri lagi.
Dan mereka menemui indi yang tengah berbaring di sofa ruang
tamu memegang majalah.
“kalian ngomongin apa sih sampe gak boleh di denger” Tanya
indi ketika melihat febri dan tian datang.
“ada deh, mo tau aja lu!” kata tian menutupi matanya yang
basah.
“in, kita duduk di taman belakang yuk, ada yang gue pengen
tanya’in ke elo” kata febri ketika tian menuju kamarnya.
Indi bangun dan mengikuti febri yang melangkah kearah kolam
renang.
Febri duduk di rumput jepang yang di tanam oleh tian dan
indi, ketika mereka kecil. Indi mengikutinya dan mendongak menatap langit
berbintang, indah.
“loe tau? Katanya orang yang ninggalin kita tu bakal jadi
bintang. Nyokap yang bilang.” Kata febri ikut mendongak.
Indi memandang wajah febri, ada air mata disana.
“gue suka bintang, rasanya indah banget, berkilauan di langit
yang gelap” kata indi.
“hmm…”
“feb, loe gak pernah suka ma cewe’ ya??” kata indi tiba-tiba.
Membuat febri tersentak.
“tumben nanya gitu?”
“iya, kemaren gue ketemu susan, dia nanya elo dah punya cewe’
ato belon, gue jawab gak pernah punya” kata indi terkikik. “setelah gue pikir-pikir,
emang bener, gue gak pernah denger elo ngomongin cewe’, padahal elo perfect
banget. Jangan-jangan lo suka sama cowo’ ya?” indi bertanya curiga.
“nah itu elo tau” kata febri acuh.
Wajah indi mengeras, jawaban febri benar-benar tak diduga.
Indi ternganga kaget. “elo…elo… ggg...ga….gay??”
Febri mengangguk, Dan indi terpekik.
“apa!!!!????”
“tapi loe jangan bilang siapa-siapa ya” kata febri serius.
Jantung indi berdetak seratus kali lebih cepat! Wajahmya panas.
Sahabatnya, sahabat karibnya ternyata mempunyai kelainan, dan dia tidak sadar
itu.
“ini Cuma antara gue dan elo! Gue gak pernah tertarik sama
cewek!”
Indi speechless
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAH”
suara tawa febri membuat indi terlonjak kaget.
Febri tak berhenti tertawa pun ketika tian mengeluarkan
kepalanya dari jendela, aneh, padahal baru tadi febri menangis dan kini ia
tertawa seakan beban berat telah meninggalkannya.
“hahaha… elo…haha…elo…hahaha……” febri tak mampu menghentikan
tawanya. Indi mengerjap bingung.
Febri mulai berhenti, menarik napas dalam-dalam dan
berkata “jadi, elo percaya, hihihi… gue
gay?”
“apa?” indi berkata bingung, dan ketika melihat wajah febri
merah menahan tawa dia sadar. “elo!!!! Elo ngeboongin gue!!! Gila lo ya!! Gue
jantungan tau!!! stress lo!!!”
Hahahaha febri memulai, dan indi pun ikut tertawa.
Mereka tertawa lama sekali, hingga indi berkata “udah!!! udah
feb!! perut gue sakit nih”
Dan febri mulai berhenti.
“gila ya, masa cowok tulen kaya gue lo kira gay?” kata febri
mulai serius, meskipun wajahnya masih terlihat geli.
“abis, elo tu serius banget. Jadi artis cocok lu”
“emang! Banyak yang pengen nawarin, tapi pas gue bilang,
gajinya harus di atas 100jete and makanan yang di kasi harus makanan luar negeri.
Semua produser pada kabur”
Dan mereka mulai tertawa lagi.
“oke enough! Sekarang gue serius! keNapa feb?” Tanya indi
ketika mereka berhenti tertawa.
Febri menarik napas. Dan berkata lemah “gue pernah suka sama
satu cewek dan gue rasa selamanya gue bakal suka sama tu cewek”
Indi mendengarkan dengan serius, ia sedikit kaget mengetahui
bahwa febri bisa berkata seperti ini.
“gue suka sama dia sejak pertama gue ketemu dia! Gue ingat
banget gimana dia nyamperin gue, ngajak gue ngobrol. Tapi gue rasa dia gak
pernah tau isi hati gue” kata febri serius.
“kenapa lo gak bilang?”
“gue terlalu takut. Lo tau gimana gue kan ndi, gue takut kalo
gue ngomong, dia bakal ngejauhin gue! Dia Cuma nganggep gue temen. Gak lebih”
febri berharap indi mengerti. Namun indi hanya terlihat kebingungan.
“siapa…”
“jangan Tanya siapa cewek itu in, suatu saat loe bakal tau!”
potong febri.
“hmm, gue kenal?”
Febri mengangguk, membuat indi makin penasaran.
Tian membeku di belakang pintu! Ingin sekali ia menghajar
indi, bagaimana mungkin indi tidak tau maksud febri! Semua orang yang mendengar
cerita febri juga pasti mengerti! Cewek itu indi!
“gue pengen tau feb!” kata indi keras kepala.
Febri menggeleng, “gue janji, ntar lo pasti tau”
“kapan???” Tanya indi jengkel.
“suatu saat, yang gue janji pasti gue kasi tau!”
Mereka terdiam.
“ndi, loe janji gak akan ngelupain gue kan!?” kata febri ketika
mereka berbaring menatap bintang.
“maksud lo?”
“well, kalo misalnya gue pergi, dan berubah jadi bintang…”
febri tak menyelesaikan omongannya karena indi memtong,
“elo gak akan pergi kemana-mana!”
“gue bilang misalnya!”
“what ever, yang jelas, gue gak akan ngebiarin loe ninggalin
gue!” kata indi kukuh.
Febri terdiam, hatinya teramat perih. Andai indi dapat
mendengar teriakan di hati febri sekarang.
“elo gak akan kemana-mana!” indi menggumam.
Febri berpaling, menghindari mata indi.
“gue pengen lo tau in, gue sayang banget ma elo!”
“gue tau” kata indi cepat.
Febri kemudian memberikan beberapa lelucuon, membuat keduanya
terkikik geli.
Febri tak mengungkit soal ‘pergi’ lagi, dan indi pun tak
berniat melanjutkan.
Mereka tertawa keras sekali, membuat ibu indi keluar dan
memarahi mereka, mengingatkan bahwa jarum jam telah menunjuk pukul 11 malam.
Indi dan febri terdiam ketika ibu indi mengomel, namun begitu
di tinggal, keduanya kembali teratawa. Meskipun tak begitu keras.
Ketika akhirnya, indi menguap, febri pamit.
“udah malam ya? Gue balik deh kalo gitu.”
Indi mengantar febri sampai ke depan, febri menuju tigernya
yang di parkir di halaman, namun ia berbalik dan memeluk indi.
Indi kaget.
“biarin gue kayak gini bentar aja in” gumam febri.
Tian datang dan
melihat kejadian itu, air matanya luruh, begitu cinta kah febri pada indi??
Febri melepas pelukannya, matanya basah.
“lo kenapa?” kata indi curiga.
“gue takut gak akan bisa meluk elo lagi” kata febri dingin
“maksud lo?” indi kebingungan.
“gak” kata febri tanpa memandang wajah indi, “gue balik” dan
ia bergegas memacu motornya, namun tian mengejarnya.
“mas…” katanya setelah ia mendekat. “jam berapa berangkat?”
Tanya tian pelan, takut indi mendengar.
“9, kamu gak perlu nganter!” kata febri singkat
“mas yakin gak mo bilang ke indi? aku tau dia pasti lebih
sedih waktu pulang dari bandung dan gak nemuin mas.” Tian berharap cemas,
“aku takut dia nyegah aku lagi ian, kamu tau aku gak tahan
ngeliat dia nangis, sama kaya’ dulu waktu aku mau ke jogja!”
“artinya mas bener-bener bakal pergi?” pupus sudah harapan
tian melihat anggukan lemah febri.
Febri mengerling indi yang masih berdiri di pintu, “ mending
kamu masuk deh, indi udah curiga! Ingat ya tian, jaga indi! jangan suka
berantem! bye” krisna memeluk tian singkat dan meluncur menuju jalanan yang
dingin. Perpisahan benar-benar membuat hatinya sakit.
“kenapa sih febri? Udah kayak mau mati besok aja?” kata indi
bingung ketika mereka memasuki rumah.
Tian hanya terdiam.
Dua belas..
“pokoknya loe gak
boleh pergi!!!” suara tian menggema di ruang tamu.
“kenapa ian? Gue kan udah ngajak elo, tapi katanya elo mau
latian pramuka hari ini” kata indi kebingungan.
“bukan itu!” tian mulai gusar. Waktu menunjukan pukul
setengah 9 lewat. Indi telah berhasil menunda keberangkatan kakaknya dengan
beribu cara yang akhirnya membuat indi kewalahan. Krisna yang menjemput indi
sejak setengah jam lalu juga tak mampu membujuk tian untuk mengijinkan mereka
pergi.
“lo gak boleh pergi ndi, plisss!” tian mulai menangis.
“tian lo kenapa sih? Oke gue gak akan kemana-mana!” indi
menyerah melihat air mata di wajah adiknya. Membuat krisna sedikit kecewa.
“sekarang lo ikut gue ke bandara!” perintah tian akhirnya,
hatinya begitu gundah, entah apakah dia berhasil mengejar pesawat febri atau
tidak, tapi perbuatan bodoh jika ia tidak mengeceknya, siapa tau febri
memutuskan tak jadi berangkat!
“bandara?” krisna dan indi kebingungan.
“cepetannnn!” indi berlari keluar, menarik lengan krisna dan
menyeretnya menuju mobil.
Tian begitu gelisah di dalam mobil, ia bingung apakah baik
memberi tau indi kenapa mereka harus ke bandara.
Sedangkan indi dan krisna yang melihat kegundahan tian, hanya
saling berkomunikasi dalam diam, memikirkan kenapa tian begitu aneh,
Siapa yang pergi? Bandara apa maksudnya?? Pertanyaan2 seperti
itu muncul di kedua benak krisna dan indi.
“kris!! Loe bisa nyetir lebih cepat gak sih!?” tian mulai
panic melihat jarum jamnya menunjuk angka 9.
“sabar donk tian, ini juga udah cukup ngebut” kata indi
menenangkan “emang kita mo ngapaen di bandara?”
“diem loe!” kata indi gusar.
Indi dan krisna saling pandang.
Sementara di bandara,
panggilan dari pengeras suar “pesawat menuju bandara charles de gaulle
paris prancis akan segera berangkat mohon para penumpang segera menaiki
pesawat”
Jantung febri berdetak lebih cepat, entah kenapa ia memandang
ke belakang, berharap muncul sosok indi yang menangis memintanya untuk tinggal.
Namun sedetik kemudian ia tersadar, indi pasti dalam perjalanan menuju bandung,
Febri melangkah menuju pesawat, setiap titian langkahnya
terasa goyah, meyakini dirinya sendiri inilah yang terbaik. Hatinya terasa amat
perih, dan matanya kembali basah, pamannya yang datang mengantarnya memeluk nya
dan berkata untuk berhati-hati.
Febri menaiki tangga pesawat, dan untuk terakhir kalinya
melihat kea rah pntu, namun tak ada sosok indi. dan febri menghilang di dalam
pesawat.
Tian berlari menuju keberangkatan luar negeri, dan matanya
liar mencari sosok febri, krisna dan indi di belakanganya kembali kebingungan
melihat tian.
Tian bergegas menuju seorang resepsionis bandara, bertanya
dengan nada begitu cepat “mba, pesawat tujuan paris udah berangkat??” dan
wanita itu tersenyum sambil berkata “pesawatnya berangkat 15 menit yang lalu mba”
Dan tian melorot di lantai.
Indi memegang tian, dan bertanya cemas “tian kamu kenapa ?”
pertanyaan itu sudah di tanyakan berkali-kali oleh indi.
tian menangis “mas febri…hiks…mas febri pergi…hiks”
dan kesadaran entah darimana menyerang indi. wajahnya kaku
dan tubuhnya gemetar.
Ia mengerti, semuanya. Makna tingkah laku febri semalam,
tujuan larangan tian. Kegundahan yang jarang di perlihatkan adiknya sejak tadi
pagi dan alasan mereka ke bandara ini. Semuanya.
“mas febri ngelanjutin kuliahnya di paris ndi” tian
ketakutan, ia tak berani melihat reaksi kakaknya.
Indi berdiri, dan mencari kursi terdekat. Krisna membantunya
dan mendudukannya. Tubuh indi terasa amat ringan pikirannya terbang entah
kemana.
“ndi…” tian menegurnya pelan,
“apa maksudnya? Dia pergi gitu aja? Ninggalin gue tanpa
pamit? Dia marah sama gue?” ekspresi aneh muncul di wajah indi.
Ketiganya terdiam, tak ada lagi yang membuka suara.
“ndi, kita balik…” ajak tian perlahan, di lihatnya indi hanya
mengangguk.
Dan mereka meluncur pulang dengan perasaan begitu tersiksa.
Bahkan krisna mau tak mau menyadari suasana hati yang meliputi kekasihnya.
Tiba di rumah indi langsung menuju kamarnya. Ia tak berpaling
atau mengucapkan sampai jumpa pada krisna. Tak ada yang mencegahnya karena tian
telah menduga hal ini sebelumnya ia menceritakan alasan febri pada krisna.
“jadi? Febri mencintai indi? tapi kata indi??” ujar krisna
sedikit terguncang,
“indi gak tau, dan gue gak tau samapai kapan gue nyembunyiin
alasan ini.” Tian menghela napas “gue sebenarnya gak boleh certain masalah ini
ke siapapun” lanjut tian.
“gue tau, sejak pertama gue ngeliat hubungan febri dan indi,
gue yakin ada sesuatu di mata febri tiap dia mandang indi. mungkin indi
nganggep sesuatu itu rasa sayang dari sahabatnya, tapi gue tau itu sesuatu yang
lain. Dan sekarang gue yakin, sesuatu itu cinta.” Kata krisna dramatis. “dan
indi gak punya perasaan apa2 ke febri? Itu yang ngebuat febri menghindar?
Karena ternyata indi jatuh cinta ke gue?”.
Tian mengangguk “indi gak pernah yang namanya jatuh cinta,
itu ngebuat mas febri seneng, dan punya alasan untuk tetap di samping indi,
ngejagain indi. tapi sekarang—tian menahan napas—indi punya elo”
Keduanya terdiam.
“elo harus bisa ngejaga dia, itu perintah mas febri, jangan
buat di nangis!” tian bergumam.
Krisna menatap tian, “selama gue masih bisa ada buat dia,
selama itu juga gue bakal ngebuat di tersenyum.
Tiga belas..
“ndi, udah sore, kita
balik yuk” tian bertanya lembut ketika indi tengah menikmati semilir angin di
pantai sore itu, dua bulan
setelah kepergian febri.
“gue masih pengen disini” jawab indi tanpa membuka matanya
yang terpejam erat.
Tian menyerah, dan duduk di samping indi lagi.
Semuanya berubah sejak kepergian febri, indi yang tak pernah
berhenti untuk menangis, semua sifat indi yang dulu Lenyap tak berbekas.
Tian dan krisna berusaha kuat untuk menghadapi indi baru yang
sangat tidak menyenangkan ini, keduanya selalu menuruti keinginan indi, tak
pernah membiarkan indi kesepian atau sendiri.
Dan meskipun usaha mereka jauh dari kata berhasil, toh indi
mau tak mau memberikan respon berupa senyum hambar yang di keluarkannya ketika
tian tau krisna memberikan guyonan.
Sekarang indi mempunyai kebiasaan yang benar-benar membuat
tian dan krisna kewalahan, seminggu sekali ia mengunjungi pantai dari pagi sampai
kadang tengah malam. Berharap febri muncul.
Semua ini setelah bujukan dari tian, karena pada
minggu-minggu pertama febri pergi, indi mengunjungi pantai hampir tiap hari,
membuat krisna sedikit jengkel. Dan berkata keras pada indi bahwa
perbuatannyasia-sia, membuat airmata segar mengucur deras dari matanya yang
bengkak. Dan krisna harus berusaha seratus kali lebih keras untuk dapat mendiamkan
banjir air mata itu.
Tian mendapat satu e-mail dari febri yang menanyakan kabar
indi seminggu setelah ia berangkat, dan tian menceritakan dengan gamblang semua
keadaan indi.
Sebagai gantinya e-mail itu adalah kabar terakhir yang di
terima tian dari febri, karena setelah dua bulan, tak ada apapun yang memberitahukan keberadaan febri.
Mereka kemudian bergegas pulang, melihat awan hitam yang
menggantung di langit. Dan ketika mereka tiba di rumah, hujan benar-benar
turun. Hujan pertama di bulan oktober.
Indi kembali menangis,
“indi, awas ujan!!” teriak laki-laki itu.
“hahahaha…..hahaha….” indi tertawa melihat kegusaran di wajah
orang itu. “ayo dong, masa takut ujan” dan indi mencipratkan air hujan yang di
tampungnya menggunakan tangannya ke tubuh anak laki-laki yang tengah berteduh.
“aku bukan takut, tapi ini hujan pertama, ntar sakit! Kesini
sekarang!” katanya mulai kesal.
“gakkk, weeeee” indi meleletkan lidahnya, dan bermain
lompat-lompat di air hujan yang mengguyur smp mereka.
“indddiiiiiiiii” teriak febri ketika cipratan air mulai
mengenai dirinya lagi.
Hahahahahahahahaha…..
“Tuh kan kamu sakit! Aku bilang apa” anak laki-laki itu
terlihat kesal. Ia berjalan mondar mandir di kamar indi.
“aku Cuma demam” kata indi manyun
“Cuma demam?? Kamu tau gak kalo demam itu awal semua
penyakit, kamu bisa pilek berkepanjangan! Bisa batuk batuk gak berhenti, badan
kamu bakalan lemes dan kamu Cuma bisa tidur!”
“aduh berisik banget sih” gumam indi
“makanya kamu kalo gak mau aku berisik, dengerin
kata-kataku!”
“ia, ia, lain kali aku gak akan mandi hujan lagi” jawab indi kesal.
“janji ya” kata si anak laki-laki
Nindi hanya mengangguk, ia menatap hujan di luar jendelanya
dengan tidak rela. Indi suka sekali hujan.
“ndi,” tian berkata
pelan.
Malam itu hujan belum berhenti,dan indi duduk di teras depan.
Mengamati air hujan.
“sampai kapan elo mau kaya’ gini?”
Indi terdiam, air mata mulai membasahi matanya lagi.
Tian memeluk kakanya dan membelai rambut panjang itu
perlahan, tian tahu, kepergian febri meninggalkan sejuta kepedihan dalam hati
indi, indi tak pernah begitu dekat dengan orang, temannya pun tak terlalu
mengenal dirinya, meskipun indi adalah orang yang ramah dan supel serta mudah
beradaptasi dengan lingkungan, namun indi sulit percaya dengan orang, dan ia
hanya menjalin pertemanan, tidak lebih. Dan febri adalah satu-satunya orang
yang sangat dekat dengannya selain keluarga tentu.
Tian kemudian berkata lembut “gue tau loe kangen sama dia,
tapi elo harus maju, buktiin kalo lo bisa lalui ini semua. Pasti itu yang
pengen mas febri liat. Loe masih punya gue, mama, papa, dan krisna.”
Dan indi tenggelam dalam tangisan.
Empat belas..
4 tahun kemudian
Cinta adalah suatu keajaiban
Perasaan yang tak pernah dapat di tebak,
Tak pernah dapat di sadari
Namun ketika cinta itu hilang
Hanya akan ada kehampaan yang menemani
Awan menggantungkan setitik harapan di hati indi senja itu,
entah telah berapa ratus kali ia mengunjungi tempat ini, namun tak pernah ia
dapat tersenyum ketika meninggalkannya.
Bukankah pantai ini selalu bisa membuatnya bahagia? Kenapa
kini ia malah merasa lebih sakit.
Empat tahun sudah laki-laki itu meninggalkannya. Dan tak ada
tanda-tanda ia akan kembali.
Sesuatu meluncur turun dari matanya, ia heran kenapa air mata
ini tak kunjung habis? Rasanya telah beton-ton air mata yang ia keluarkan
selama 4 tahun belakangan.
Indi telah terbiasa melalui hari dengan air mata, ia telah
meyakini diri untuk melupakan sosok gelap itu. Tapi setiap tempat yang ia
datangi selalu memunculkan ingatan tentang orang itu. Dan keyakinan indi runtuh
seketika,
Sampai ajal menjemput pun, ia tak akan bisa menghapus
ingatannya tentang febri.
Febri….
Entah kesadaran dari mana, ia tau perasaannya pada laki-laki
itu lebih dari sekedar sayang.
Perpisahan memang selalu dapat memberikan jawaban, dan begitu
pula dengan jawaban yang dibutuhkan indi.
Tian memesan makan sianknya,
perutnya terasa begitu lapar, dan ia terpaksa bolos kuliah agar dapat
makan.
Makanannya datang, namun sesuatu kembali mengusiknya. Tanpa
sadar matanya mengenali seorang laki-laki yang juga tengah menikmati makan
siang di restoran itu.
Tian menajamkan penglihatannya, tidak salah lagi. itu…itu…
tian sedikit terguncang. Dan rasa laparnya menguap begitu saja.
Ia menghampiri laki-laki itu, dan berdiri di depannya, tepat
di depan laki-laki itu.
“mas…”
Laki-laki itu mendongak, wajahnya tak dapat menyembunyikan
kekagetannya.
“ttian??”
“mas febri!” tian meyakinkan diri.
Mereka saling merangkul selama beberapa saat.
“….jadi, indi dan krisna udah putus?” kata febri, ia kaget
luar biasa. Ia pikir mereka bahkan telah menikah.
“mas, mas harus tau! Perasaan indi begitu terluka. Dia
benar-benar berubah sekarang. Dia ngunjungi pantai tiap minggu selama 4 tahun
belakangan, kadang lebih. Awalnya krisna yakin itu hanya karena indi ngerasa
kehilangan mas, sahabat terkaribnya. Tapi setelah dua tahun indi gak berubah,
krisna sadar, indi —tian memandang wajah febri—mencintai mas”
Seribu aliran listrik membuat febri mematung. Ia mencari mata
tian, berharap ada kebohongan di sana. Namun yang ia lihat hanya mata basah.
“mas, aku tau ini mungkin terlalu skeptis, tapi it’s a real!
Dia mungkin bisa nutupin perasaannya dari orang lain, tapi aku tau mas! Aku tau
perasaannya indi masih terluka karena kepergian mas. Indi, beberapa tahun
belakangan dia berusaha hidup normal, setelah perpisahan dengan krisna, dia
mulai nata kehidupannya. Dan sedikit banyak dia berhasil, meskipun gak seratus
persen. Tapi satu hal mas, indi benar-benar mencintai mas.” Kata tian panjang
lebar.
Febri terdiam seribu bahasa. Dan tian pun tak melanjutkan.
Keheningan merebak di antara mereka.
“indi lulus dari UI dan langsung di terima di salah satu
perusahaan design terbesar di indo. Dia gak pernah ketemu sama krisna sejak
perpisahan mereka. Krisna ngelepas indi mas, dan gak berusaha kembali kendati
dia benar-benar mencintai indi. aku denger semua percakapannya sama tio, sehari
sebelum dia mutusin hubungannya dengan indi. dan sekarang dia kuliah di
bandung, kedokteran” kata tian ketika
hampir setengah jam mereka terdiam.
Febri mengangkat kepalanya dan bertanya dengan nada janggal
“kamu kuliah dimana?”
Tian tau, pertanyaan ini jebakan, agar mereka tak membahas
masalah indi ataupun krisna. “universitas trisakti, mas tau aku gak sepinter
indi”.
Febri hanya membentuk huruf ‘o’ dengan mulutnya.
“mas gimana? Aku belum denger cerita tentang mas” kata tian
setengah melirik arlojinya, jam 2 siang, dia harus pulang sebentar lagi.
“well, biasa-biasa aja” kata febri singkat, jelas dia tak
berniat mengisahkan kehidupannya.
“mas…” tian meminta,
“mas lulus tahun lalu, dan nerusin bisnis papa mas, ..’’
belum sempat febri melanjutkan tian memotong garang
“dua tahun yang lalu? Trus kenapa mas pergi selama ini!?
Febri kelihatan serba salah, dan melanjutkan “kamu tau tujuan
sebenarnya mas pergi kan ian?”
Tian kelihatan marah, “tapi mas sadar!? Mas udah bersikap
egois!! Mas gak pernah sekalipun ngabarin aku, ngabarin indi, dan sekarang
tiba-tiba mas disini. Trus sekarang kenapa mas datang!? indi udah mulai
terbiasa hidup normal mas, dan akan jauh lebih baik buat dia kalo mas pergi
selamanya!” suara tian meninggi.
Febri kembali salah tingkah, jelas ia tak ingin pertemuan
pertamanya setelah 4 tahun di warnai kemarahan. Namun meski begitu ia sadar,
kembali ke Negara ini, sama artinya dengan mencari pujaan hatinya.
“mas datang untuk urusan bisnis” febri berkata lemah.
Ekspresi tian melunak dan ia berkata “emang gak bisa di
serahin ke orang lain!?” dengan suara cair.
Febri menggeleng, namun sedetik kemudian ia melanjutkan “mas
pengen ketemu indi” membuat wajah tian kembali mengeras.
“gak, sebelum mas mutusin pilihan. Ketemu indi dan janji akan
ngebahagiain dia, atau pergi jauh dari sini, dan ngebiarin indi hidup tanpa
mas. Dan aku akan berpura-pura pertemuan ini gak pernah terjadi”. Tian
mengambil tasnya, menyelipkan uang lima puluh ribu di meja dan meninggalkan
febri.
Perjalanan pulang tian sangat tidak menyenangkan,
percakapannya dengan febri masih teringat jelas. Ia mengemudi dengan pikiran
kosong. Dan ketika melewati lampu merah tak sengaja ia menabrak escudo merah
yang parkir di depannya.
Mobil itu berhenti, dan dengan ketakutan tian keluar dari
mobilnya yang juga berhenti dan menghampiri laki-laki yang tengah memeriksa
bodi mobilnya.
“mmaa…ma…af.. ss…saya ggak ssengaja” tian terbata-bata.
Laki-laki itu berbalik menghadapi tian.
Dan keduanya terpekik.
Tian hampir saja pingsan, dan laki-laki itupun tak dapat menyembunyikan
kekagetannya. 2 tahun tak bersua membuat mereka benar-benar merasa aneh.
“hhai… udd..da lama ggk ktemu” suara tian masih gugup.
Krisna tersenyum dan menjabat tangan tian. Mereka ngbrol
sebentar dan tian segera pamit, mengingat jamnya menunjuk angka 3.
Tian benar-benar bingung dengan kejadian hari ini, ia memasuki
rumah dengan keadaan linglung, tanpa ekspresi ia menyapa kakaknya yang menunggu
di pintu depan.
“tiannnnnn!” indi akhirnya berteriak, melihat adiknya tanpa
wajah bersalah masuk kedalam rumah. Indi melempar pandang marah pada tian yang
berbalik.
“kamu ngelupain sesuatu!” kata indi marah.
Wajah tian kembali di dera kebingungan. Dan ketika tian melihat
wajah penuh kejengkelan kakanya ia tau ia melewatkan satu hal.
“owh” kata tian bego dan melihat jam.
“lo stress hah? Gue seharusnya udah ada di supermarket dua
jam yang lalu! Loe kemana aja sih!?” indi meledak
“kenapa lo gak pergi sendiri sih ndi?” kata tian letih.
“loe udah janji nganterin gue! Mobil gue di pake mama! Mobil
papa masih di bengkel!” kata indi jengkel.
“iya! Bawel banget loe, kita pergi sekarang?” tian mengalah.
Lima belas..
“…baik pak, tapi saya harap proposal ini dapat langsung di
tanda tangani, karena saya harus segera melaporkan hasilnya pada pak Alam,”
“ok, saya mengerti, kamu boleh pergi. Oya indi, jangan lupa
malam ini ada pertemuan dengan perusahaan sandi!”
Indi mengangguk.
“kamu tau mereka akan kedatangan ceo baru kan? Saya dengar
dia baru datang dari luar negeri. Nanti kamu bisa beramah tamah dengan dia”
Indi hanya tersenyum dan berkata pelan “saya usahakan pak”
“ya ya, silahkan keluar” kata bosnya dengan mengibaskan
tangan, ingin segera kembali tenggelam dalam pekerjaannya.
Hufffh…
“gak baik tau ngembusin napas kayak gitu” kata emi pada indi
yang duduk di mejanya
“erni, ntar malam kamu datang?”
“gak lha, mana mungkin, acara itu Cuma buat the great people.
Something like you banget!”
“aku males banget pergi masalahnya, pasti ngebosenin” kata
indi seraya berjalan menuju mejanya.
“take it easy plend, btw kmu udah nyiapin kostum kan?”
“for what?”
“ya ampun indi… kamu ya, bener-bener, mana bisa kamu datang
dengan stelan jins biasa! You need a gown ok?!” kata erni dengan mimic serius.
“I don”t like it!”
Erni tertawa, tau benar bahwa rekan kerjanya benci terhadap
segala hal berbau formal.
“loe mau kemana si? rapi bener” tian heran melihat kakaknya
memakai gaun indah yang di belikannya nyaris dua tahun lalu itu.
“biasa, urusan kerja, loe antarin gue yuk, males nyetir nih
gue!”
“elo, gimana kalo gue gak ada? Bisa-bisa lo diem di rumah
jadi kaya ayam dalam kandang!” kata tian keras.
Namun detik berikutnya tian sadar kata-katanya terlalu
menusuk, karena indi tiba-tiba berhenti berjalan, dan menerawang kosong.
Tian kebingungan, namun ia segera menghampiri kakaknya yang
mematung dan menggandeng tangan indi, membawanya menuju mobil.
Ferari itu sampai di halaman gedung pertemuan. Indi turun
dengan wajah sedikit ceria.
“jam berapa di jemput?” Tanya tian
“10” kata indi singkat dan melangkah menuju ambang pintu.
“putrianindi anestisa, designer muda berbakat kita.” Sambut
bos indi ketika indi masuk dalam gedung bernuansa putih itu.
Indi terjebak dalam obrolan para pengusaha yang sangat
membosankan, tidak aneh, karena rasanya hanya dia wanita muda yang ada di sana,
orang-orang yang hadir rata-rata berumur di atas 30 tahunan.
“baiklah, ladies and gentlemen, kita sambut, pengusaha muda
yang memberikan modal terbesar dalam perusahaan ini, laki-laki sucses yang
mewarisi kecerdasan serta ketampanan ayahnya, FEBRIO HANDOYO”
laki-laki itu kemudian muncul, dengan stelan jas hitam yang
membuatnya terlihat luarbiasa.
Prankkkk….
Indi menjatuhkan gelas lemon tea yang di pegangnya, membuat pak
radan, bosnya mendelik marah ke arahnya.
Namun indi tak peduli, mata dan telinganya pasti berbohong.
Tiap langkah pria itu seakan menjadi tusukan tajam yang
menghunus tepat ke jantung indi, ia bahkan tak mampu bernapas, nadinya seakan
berhenti mengalirkan darah. Kenangan-kenangan tiba-tiba muncul dalam kepalanya,
namun ingatan itu seperti kaset rusak yang sangat sulit untuk kembali di
perbaiki.
“febrio, what are you? Saya dengar anda akan segera menikah?
Wah, wanita yang akan anda nikahi itu pasti beruntung sekali!”. Bos indi
menjabat tangan febri, dan menarik febri dalam kelompok kecil itu.
Indi mematung, wajahnya sepucat tembok, entah kenapa udara di
sekitarnya memadat, membuat indi ke sulitan menarik napas.
Siluet indi terlihat oleh febri yang segera sadar siapa
wanita yang berdiri 60 meter darinya. Febri membeku, suara-suara yang
mengajaknya mengobrol mulai tak terdengar. Hanya tatapan tajam indi yang kini
dapat di tangkapnya.
Mereka saling menatap dalam diam sekitar 15 menit, sampai
seorang wanita merangkul lengan febri, membisikan sesuaatu yang tak dapat di
dengar indi.
Bisikan itu sepertinya membuat febri sadar, dan mengalihkan
pandangannya.
Febri beranjak dari tempatnya berdiri, dan menuju ke meja
yang telah di sediakan, indi mengikuti langkah febri dengan pandangannya.
Kaki indi terasa lumpuh, pulang, dia harus pulang. “pak, saya
kurang enak badan, ijin pulang duluan pak” kata indi pada bosnya.
Laki-laki paruh baya itu menatap tajam, namun melihat wajah
indi yang begitu pucat dia mengangguk, “perlu saya suruh orang mengantar kamu
pulang?” dan indi menggeleng.
indi menyetop taxi yang ada, dan segera menutup kedua matanya. Ia begitu lelah.
Indi menatap kosong laut tak berujung yang terhampar di
depannya, kenangan memang takkan pernah sirna, pun ketika kita mencoba sekuat
tenaga untuk melupakannya.
Febri,
Desah napas indi mengalun mengikuti irama cinta dalam
jiwanya. Indi telah terbiasa mengingat wajah febri dalam kepalanya, dan
berusaha untuk tidak membuka lembaran foto yang ia punya. Mengandalkan ingatan
dalam memorinya.
Tapi sekarang, tidak ini bukan mimpi. Indi berusaha meyakini
dirinya sendiri. Wajah itu muncul tepat di hadapannya. 4 tahun, waktu yang
tidak sebentar, bahkan bagi indi yang menyadari perasaan cintanya.
Dan febri kembali, menikah, mungkinkah ia kembali untuk
menikah!? Dada indi terasa tertusuk jarum!
Indi menyesal, bahwa kesadaran febri pergi karena dirinya
terlambat ia ketahui. Nindi begitu egois. Dan karna keegoisannya ia hidup dalam
penyesalan. Indi selama ini berpura-pura bahagia. Berpura-pura semua baik-baik
saja.
Ia tidak sanggup melihat tian menatapnya dengan pandangan itu. Ia merasa bersalah pada kedua orang
tuanya yang selalu menghiburnya. Dan indi benci melihat mereka semua berjuang
keras demi dirinya. Sedang dia, masih saja terpuruk.
Tahun demi tahun indi lalui, dan dia berhasil. Atau dia piker
dia berhasil. Karna tidak sekalipun ia meminta tian memberitahunya dimana
febri. Atau mencoba mencari tau dimana laki-laki itu sekarang. Ia hanya
menunggu, entah apa yang ditunggunya.
Tapi saat ini, ketika laki-laki itu berdiri di hadapannya.
Saat ia pikir ini adalah hadiah karena kesabarannya selama ini. Tiba-tiba
kenyataan dalam bentuk yang paling parah.
Febri akan menikah, ia tidak kembali untuk indi. febri telah
melupakannya. Febri telah berhasil melupakan indi. sedangkan indi, bahkan belum
benar-benar mencoba untuk melupakan perasaannya pada febri.
“ma’af pak, indi tadi minta saya jemput jam 10, bapak tau dia
dimana? Soalnya sudah setengah jam saya telepon, hpnya gak aktif”
“loh, tian khan? Indinya udah pulang dari 2 jam yang lalu,
katanya gak enak badan”
“apa? Tapi dia gak da di rumah, barusan saya telepon mama
saya pak” suara tian mulai panik.
Pak indra terlihat kebingungan, “coba kamu telepon lagi”
katanya.
“hpnya gak aktif pak…” kata tian setelah mencoba menelpon.
Seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka mendengar kepanikan tian, indi…
Febri tak tahan, ia menghampiri tian, membuat tian kembali
terpaku.
“mas, ngapain mas di sini?” teriaknya.
“indi kenapa?” kata febri langsung, seakan tak mendengar
kata-kata tian.
“mas kok ada di sini?” tian pun tak mendengar pertanyaan
febri.
“gak penting, indi kenapa!?” kata febri lagi,
“indi…indi…indi…” tian termenung, “tadi dia ketemu mas?”
Tanya tian panic.
Febri mengangguk, “tapi aku bahkan belum sempat ngomong sama
dia, dia udah duluan menghilang” kata febri pelan.
“aku tau dimana dia!” kata
tian keras.
Dan tian berlari kearah mobilnya, tak memperdulikan pandangan
bos indi yang kelihatan bingung.
Febri mengikuti tian dengan mobilnya, dan meskipun 4 tahun ia
meninggalkan Jakarta,ia tau kemana mobil tian melaju.
Tian mencari sosok indi,
Berlari ke arah bukit terjal yang menjorok ke laut, ia
sedikit bimbang mengingat jam di arlojinya menunjuk pukul 11, namun dengan satu
lirikan ia tertegun.
Febri menabrak belakang tubuh tian, karena tak menyangka tian
akan berhenti mendadak,
Tian melangkah maju, sangat perlahan sehingga ia agak seperti
terbawa angin pantai. Febri hanya diam, dan menatap lurus ke tempat tian
melangkah,
Tian duduk, lututnya lemas, bertumpu pada kedua lutut itu, ia
mengenali sepatu yang ada di tepi jurang, sepatu yang ia berikan bersama’an
dengan gaun yang di pakai indi.
Sepatu kaca mengkilat itu kini berada di tangan tian, tian
tak dapat memperhatikan hal lain, bahkan jeritan yang memekakan telinga yang
keluar dari mulutnya pun, seperti bukan di teriakan olehnya.
Febri mematung di tempatnya, ia–entah bagaimana–mengerti apa
yang terjadi, dan itu tidak membuatnya lega sama sekali.
Ini salahku…ini salahku…ini salahku… benak febri
bereaksi dengan sendirinya. Dan ketika ia melihat tian mulai tertunduk lemas,
febri seakan mendapat berjuta-juta volt aliran listrik, indi pergi!?
“aku gak tau apa surat ini bisa kalian temukan– ku
rasa angin akan menerbangkannya– tapi ku harap kalian bisa membacanya.
Aku tengah memandang langit ketika menulis, dan
berharap aku masih bisa terus memandangnya,
Kalian tau?
Tidakkah penyesalan itu selalu datang belakangan,
aku tidak ingin mengakuinya, hanya saja, qu rasa aku terlalu munafik jika
berbohong lagi.
Aku mencintaimu feb, dan ini bukan
guyonan seperti yang sering kau ucapkan kepadaku, ini nyata, perasaan yang baru
kusadari setelah semuanya berakhir.
Aku tau, kau akan mendengarkan aku, aku tau ketika
aku melihatmu malam ini, itu artinya aku memilikimu. Lagi….
Ya, kupikir aku tau febrio handoyono,
Bahwa kau kembali untukku.
Hanya saja, aku salah feb, aku salah,
Bukan kah kau mengerti febri?
Mencintaimu adalah kesalahan terindah yang pernah ku
lakukan,
Dan kuharap, ketika aku menjadi bintang,
aku akan dapat mengawasimu,
bersama dengan orang yang kau cintai dan kau pilih
untuk bersamamu.
ingatlah bahwa aku akan melihatmu selalu,
dari dunia sana, bersama ibumu.
dan ingat pula lah, bahwa aku memafkanmu,
karena yang kutahu,
cinta adalah selalu memaafkan.
Surat itu jatuh dari tangan febri,
Dan dengan satu sentakan kecil di perutnya, ia tak
dapat mengingat apapun lagi…
SELESAI