Jumat, 02 Juli 2021

i/m back

 its been a long timeee..

aneh rasanya menulis lagi. saat kegabutan muncul, handphone di charge dan suami masih terjebak rapat kantor. waktu itu aku 20 saat pertama kali berkenaan dengan platform ini. dan sekarang aku 26.. 

hei, kemana waktu berlalu?


Selasa, 13 Oktober 2015

offering give

Offering Give

Satu..
Bukk,
Tian membiarkan tubuhnya terbanting di atas tempat tidurnya yang empuk. Bi ana pembantunya segera datang menghampirinya dan mengajaknya makan siang, namun ternyata tian telah sampai di alam mimpi.
hari ini adalah hari terberat yang pernah di laluinya. Sejak mulai berangkat ke sekolah, tian terpaksa harus jalan kaki menuju sekolah yang jauhnya sekitar 2 km, karena di tinggal kakak, ayah dan ibunya tanpa uang sepeser pun, ia memang bangun kesiangan pagi itu, dan sialnya tak ada yang berinisiatif membangunkannya. Sampai di sekolah, ternyata gerbang telah di kunci dan tian pun mengikuti kakak kelasnya yang juga terlambat menaiki pagar belakang, at least roknya robek. Penambah deritanya adalah pak dedi guru BP yang terkenal galak telah menunggunya di bawah pagar. Tian di hukum lari keliling lapangan 3 kali, dan berteriak tidak akan pernah terlambat lagi sebanyak 99kali.
Penderitaannya tidak berhenti di situ, karena ketika masuk kelas dengan baju yang basah oleh keringat, dan rok yang robek di bagian paha, seluruh warga kelas menertawakannya, tidak terkecuali bu hani yang sedang mengajar. Oh poor. Tanpa mempedulikan siapapun, tian berlari menuju toilet sambil menangis, dan sial baginya ia menabrak pak hendra, kepsek di Pelita Harapan, sma yang di tempati tian. Dan dengan wajah sekarat tian memohon ma’af dan kembali berlari sebelum sang kepsek memarahinya.
Tidak heran ketika pulang, ia segera berlari menuju kamar kakaknya, indy, dan memarahinya. Indy yang juga baru pulang kuliah hanya melongo, tak mengerti apa yang di katakan adik tersayangnya itu, karena selain tian yang menjelaskan dengan kecepatan 350 kata permenit suaranya pun serak karena di barengi dengan tangis. Puas memarahi kakaknya, ia menuju kamar orang tuanya dan melihat kamar itu kosong. Kekalutannya membuat tian lupa orang tuanya pulang kantor jam 4 sore dan sekarang baru jam 2 siang.
Akhirnya ia kembali ke kamarnya tanpa menyentuh makanan yang di siapkan oleh bi anna. Dan langsung terlelap.
Oahhhmmmm…..
”jam berapa sih!?” mata tian membulat demi melihat jarum jam yang menunjuk angka 05.00 pm. Dengan sentakan nyeri di kepalanya ia bangun dan bergegas menuju kamar mandi, dia lupa bahwa sore ini harus ke tempat kursus matiknya,. Dan tian seharunya sudah ada di sana sebelum jam 4.30.
“INNNNNNNN, DIMANA LO?!!!!” suara tian menggema.
“apa si lo, teriak-teriak mulu” kata indy kaget.
“anterin gue… telat nie…. GUE ADA BIMBEL!!!!!!!!”
Dengan nyaris ogah-ogahan Indi meninggalkan laptopnya dan mengambil jaket, kunci mobil dan mengikuti adiknya yang hampir pingsan karena panic.
“udah lah ian, gak usah segitunya” indi menenangkan,
“kemarin gue gak datang, kemarennya lagi gue alpa, terus kemarennya lagi gue harus remidi ma bu ros, kalo sekarang gue gak datang, bisa abis gue” katanya  masih dengan nada panic.
Honda jazz item metalik akhirnya tiba di tempat bimbel yang lumayan besar itu.
Tian berlari sekuat tenaga, dan indi masih tersenyum-senyum melihat adik bungsunya itu. Bahkan ia tak melihat mobil yang juga baru memasuki halaman tempat bimbel itu, dan dengan bunyi memekakan telinga, indi menabrak escudo merah itu.
Dengan wajah pucat pasi Indi menghampiri laki-laki yang keluar dari escudo dan sedang memeriksa body mobilnya yang rusak.
“ma…ma’f pak —eh— mas, sa…sa…say..a gak sengaja, t..tadi gak l…l..liat” indi tersendat-sendat.
Dan betapa herannya indi karena ternyata cowo’ itu malah tersenyum setelah memandang wajahnya lama.
“gak papa, tapi hukumannya, gimana kalo kamu ngasi nomor hp mu!!?” katanya sambil nyengir.

Setelah pertemuan singkat dengan krisna-cowo’ yang di tabraknya beberapa Minggu yang lalu- indi makin sering memikirkan cowo’ dengan lesung pipi itu. Sungguh aneh Karena setau indi ia sangat-sangat tidak menyetujui jika cowo’ berhubungan dengan cewe’ yang lebih tua, namun kenyataannya, sekarang ia mempunyai perasaan aneh pada cowo’ berondong itu.
Setelah ber-smsan beberapa Minggu, Indi akhirnya tau bahwa Krisna baru kelas dua SMA, dan karena Indi kuliah di jurusan Web-Design dan Animasi semester 2, umur keduanya tak begitu jauh, namun tetap saja indi harus mengontrol perasaannya ini, apa kata teman-temannya jika tau, Indi yang membenci cowo’ berondong ternyata jatuh hati pada anak Sma, dan parahnya Krisna satu sekolah dengan Tian, entah apa kata Tian kalo sampai dia bisa membaca pikiran gila Indi.

From : krisna
Hm… Gw gak tau lo bisa to gak, pi gw bakal happy bgt kalo loe ikut, ade’ loe juga ikut kn?!!!

Ok,
Liat sikon! Ω
Send

from : Krisna   
ywdah,
tp gw berharap bgt!

Uhm…
Gw usahain,
Send

From :Krisna
Gt dunk,
Ge paen?

Baru mo berangkat kuliah,
Send


From : Krisna
Gw Jemput ya!!
Tunggu 5 menit!!!!!!

Tinn…tinnn.
Bunyi klakson membuat Indi terlonjak, ia baru saja akan menolak tawaran Krisna, namun ternyata krisna telah berada di depan rumahnya. Segera ia meraih tas dan laptopnya, berlari menuju halaman, jangan sampai Tian melihatnya. Sekolah Tian hari ini di liburkan karena akan di gunakan sebagai tempat uji coba anak kelas 3. dan Tian memutuskan menghabiskan liburan 4 harinya di rumah.
Indi menengok ruang depan,
Hufffh, Tian sedang dalam kamarnya.
“lu apa-apapa’an sih, gue khan gak butuh di jemput!!!” kata Indi, namun sebenarnya hatinya gembira, dapat melihat pujaan hatinya.
Krisna nyengir lebar, “mumpung gue libur kan”
Escudo merah berlari menembus kemacetan Jakarta, dan tanpa terasa Indi tiba di UI, kampusnya. Dengan berat hati ia turun setelah mengucapkan terimakasih banyak.
“di jemput?” Tanya Krisna
Indi mengangguk dengan senyum lebar.

“gue liat lu sering ya jalan sama cowo’ SMA itu?” Tanya febri ketika indy tengah menikmati makan siangnya.
Indi mengangguk singkat, dan febri yang nampak kurang puas memberikan pandangan sebal.


Dua..

Indy menendang batu yang berada di depannya,
Hampir jam 5 sore, dan tak ada tanda-tanda bahwa Krisna akan datang, 2 jam lebih sedikit Indi menunggu jemputan Krisna. Dan handphone krisnapun mati.
Febri yang menunggu dengan harap-harap cemas, akhirnya menghampiri Indi dengan tigernya, dan berkata “pulang ama gue aja!!!”.
Febri memacu kecepatan motornya amat tinggi, sehingga indi harus memeluknya agar tak jatuh, lampu merah menyala, dan Febri mengerem mendadak. Indi melayangkan pandangannya ke samping, escudo merah yang tak asing, dan ketika ia memperjelas penglihatannya, ia  melihat—dengan entakan nyeri di perutnya—Krisna memeluk seorang gadis.
Febri mengikuti pandangan Indi, dan langsung memacu kencang motornya ketika lampu hijau menyala,, sehingga Krisna tertinggal di belakang.

“Thanks ya” kata Indi singkat dan segera masuk ke dalam rumahnya tanpa mempersilahkan febri untuk mampir, Febri yang melihat butir-butir air mata jatuh dari pipi sahabatnya, menarik lengan Indi dan memeluknya.
Indi terisak dalam pelukan febri, tak mampu menahan linangan air matanya, hatinya begitu perih, hampir 3 bulan ia menyimpan perasaan sukanya dan sekarang ia tau,perasaannya tak pernah di balas, mungkin Krisna hanya menganggapnya teman—tidak lebih.
Febri melepaskan indi yang matanya bengkak, wajah indi sedikit merah ketika ia berkata “j..jangan bilang…hiks… siapa..hiks..siapa… g-g-gue gak m...m...mau hiks… tian t..tau,…”
Febri memandang mata hijau cerah yang sekarang menjadi merah padam itu, dan bertanya “lo suka sama anak itu?”
Dan Indi mengangguk pelan.
Tusukan setajam silet menghunus tepat dada Febri,
Sahabat karibnya, yang juga menjadi wanita pertama yang mampu menembus hati febri, wanita yang selalu ada di dekatnya, yang selalu di banggakannya, di pujanya, di cintai! Ternyata menyimpan cinta rahasia pada seorang anak SMA yang tidak lebih tinggi atau lebih tampan darinya.
Febri menghela napas panjang, ia melepaskan tangannya yang masih merangkul bahu indi, membiarkan indi masuk masih dengan air mata bercucuran, dan pergi, febri pergi meninggalkan halaman rumah bercat hijau muda itu dengan hati yang begitu sakit, tak pernah rasanya ia mengalami sakit seperti ini, bahkan ketika ibunya meninggal pun, ia masih bisa menahan kecamuk jiwa yang membara, karena selalu ada indi yang menemaninya! Indi… gadis yang di pujanya sejak mereka bertemu pertama kali, 7 tahun yang lalu.
Dan kemudian Ingatan setajam pisau muncul di kepalanya.


“hy, sepi ya….”
Febri memberikan pandangan tajam pada gadis manis yang meletakan bokongnya dibangku samping febri.
“kamu suka sendiri ya? Kok gak ikut anak-anak lain menjelajah smp ini?” senyum di wajahnya membuat febri tak berani menatapnya lama.
“kamu sendiri?”
“aku liat kamu disini aku pikir kamu perlu temen”
“aku gak butuh di temenin!” kata febri lagi,
“tapi aku mau nemenin kamu! Aku indi…” gadis itu menjulurkan tangannya.
“febrian…” balas febri.
Perkenalan hari pertama sekolah itu membawa keduanya pada sebuah ikatan persahabatan yang mungkin tak pernah putus, pun ketika memasuki masa SMA—3 tahun setelah perkenalan itu— ketika muncul perasaan indah yang pertama kalinya dalam hidup cowok berponi itu, febri tak memberi tau indi tentang cinta dalam hatinya. Dan ketika indi yang selalu mencurahkan isi hatinya pada febri, memberi tau bahwa selusin cowok telah menyatakan cinta padanya, febri hanya dapat menyabarkan hatinya yang pedih. Febri berusaha menghilangkan perasaan yang lebih pada indi, dan hampir berhasil ketika setahun mereka masuk di SMA yang sama,
Febri di kejutkan dengan berita ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil. Febri yang ayahnya seorang diplomat, sangat-sangat sibuk, tak pernah punya waktu untuknya, terpukul sekali mendengar berita ini, karena selain ia tak punya saudara di jakarta—semua keluarga ayahnya di Jogja, dan ibunya (seorang wanita ramah baik hati yang aslinya dari Inggri)s— memutuskan untuk pindah ke Jogja, namun Indi yang menangis selama tiga hari berturut-turut mendengar rencana febri, membuat Febri merubah keputusannya, dan menetap di Jakarta bersama seorang paman—lebih tepat di sebut asisten rumah tangga, karna tak mempunyai hubungan apapun dengan febri. Dan segala usaha yang di lakukan febri untuk memadamkan cintanya pada Indi menguap! Indi yang slalu ada ketika ia terpuruk! Yang menyehatkan pikirannya selalu. dan parahnya, ketika indi menolak semua cinta yang yang di tawarkan berpuluh laki-laki, membuat febri semakin meyukainya.
Tapi sekarang, indi yang ia slalu ia mimpikan, memendam perasaan pada laki-laki yang bukan dirinya, hatinya bagai teriris sebilah pisau!!!

















Tiga..

Indi menuju kamarnya, dan menangis di bawah bantal! Terbayang olehnya Krisna yang memeluk seorang gadis dalam escudonya.
Suara hp indi mengaggetkan dirinya sendiri, dan ketika ia melihat layar hpnya, ia melempar  Nokia N-76 tersebut ke tembok, sehingga bodynya rusak, dan batreinya berserakan di lantai.
Ia kembali menangis, dan akhirnya terlelap.

“indiii, sini bentar donk sayang….” Suara mamanya kembali mengaggetkan indi yang sedang memberikan sentuhan animasi yang ia buat.
Segera indi memebersihkan wajah dan matanya yang masih sedikit merah. Dan kemudian menuju sumber suara mamanya yang berasal dari ruang keluarga.
Begitu melihat indi mamanya berkata “tadi Tian nelpon, minta indi jemput, dia hubungi indi tapi katanya hp indi mati? Papa belum pulang, lembur katanya, gak papa khan sayang? Kasian, udah jam 7, mama takut suru dia pulang sendiri.”
“emang dia kemana ma?” kata indi letih,
“rumah temennya, indi tau dyra khan?”
Indi mengangguk singkat dan mengeluarkan Honda jazznya, meluncur ke jalan Sudirman.
Indi memarkir mobilnya di halaman rumah dyra yang luas,  mengetuk pintu, dyra keluar dan tersenyum pada indi,
“Tian mana ra? Udah selese kan?” Tanya nya,
“udah mba’, tian tadi ke toilet, mba’ indi masuk yuk, mau minum apa? Tanyanya ramah,
“gak usah deh, minta Tiannya aja suru cepetan…”
Dan dyra meninggalkan Indi di ruang tamu.

“…. Balik sekarang aja, nyokap suru cepet, gian di kumpulin lusa kan, lo pulang ma siapa ian?” seorang laki-laki keluar dari dalam bersama Dyra dan Tian.
Jantung indi rasanya copot, KRISNA!
Krisna yang sadar adanya indi berhenti, membuat Tian menubruk punggungnya.
Indi dan Krisna saling menatap lama, kesunyian di pecahkan oleh suara tian “tuh kakak gue udah jemput” melihat tatapan keduanya tian melanjutkan “kalian uda saling kenal?”
Indi menjawab ‘tidak’ bersamaan dengan Krisna yang berkata ‘ya’.Tian memandang keduanya bergantian.
“pulang sekarang!” indi meninggalkan ruang tamu dan sedikit berlari menuju mobilnya. Namun lagkahnya di blokir Krisna, “di, lu marah sama gue? Gue nlpon lu, hp lu mati, tadi sore gue pergi, nyokap gue tiba-tiba masuk rumah sakit jadi gak bisa…” kalimat krisna terpotong oleh pandangan indi,
“Gue mau pulang! Minggir loe! Jangan ganggu gue lagi!!!”
Indi menarik lengan Tian masuk dalam mobil, dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Tian membuka percakapan, namun baru membuka mulut indi membentaknya “jangan nanya apa-apa!!!!. Tian menutup mulutnya kecewa.
Sesampainya di rumah, indi langsung memasuki kamarnya, di ikuti Tian, yang langsung menghujam indi dengan berbagai pertanyaan,
“lo kenal krisna? Kok bisa? Kenal darimana? Tadi kok kaya’nya kalian berantem gitu???”
“ gue mau istirahat, kapan-kapan gw cerita,” kata indi singkat,
“tapi gue mau tau, elu tau gak? Krisna itu cowok yang gue taksir!!!! Gue pernah cerita kan? Anak baru dari Bandung itu lho… gue suka ma dia sejak ketemu dia waktu di bimbel, gw gak tau ternyata besoknya dia sekolah di SMA gw, satu kelas lagi….” kata Tian bersemangat.
Zzzzzzttt…
Seribu satu aliran listrik kembali menyetrum indi.




Empat..

Tian tersenyum ketika memasuki rumahnya, Padahal, tadi pagi ia mengeluh, kenapa uji coba hanya 4 hari, ia hampir saja lupa bahwa hari ini sekolah, jika mamanya tak membangunkannya, mungkin ia akan tidur sampai siang.
“elu kenapa senyum-senyum?” kata indi yang juga baru pulang.
“hummm… lo tau gak?! Nanti sore, kita da kemping gitu, semua nak kelas dua ikut, dan yang bikin gw senenk, gw bakal duduk bareng ma Krisna di bis, dan lu bisa bayangkan? Perjalanan ke Bogor tu hampir3 jam lhoooo….”
Indi hanya tersenyum kecut,
“lo ikut? Gw denger boleh ngajak keluarga, mumpung ini hari jum’at, lo punya waktu refresing 2 hari penuh di, lagian week end gak ada kuliah yang penting kan?!” Tian berkomat kamit.
Indi hanya menggeleng, bagaimana mungkin dia ikut, jika ada Krisna di sana. Ia telah mencoba menjauh-sejauh yang ia bisa dari cowok itu, sejak kemarin lusa ia tak berhubungan apapun dengan Krisna, dan ketika Krisna datang kerumahnya, Indi membanting pintu tepat di depan hidung Krisna.
                                                                                                                          
“ma… Tian pasti kangen ma mama, nanti Tian coba buat nelpon mama terus deh” pamit Tian ketika teman-temannya datang menjemputnya. “ndi, lo beli HP baru donk.. susah gue hubungin tau!!!” lanjutnya.
“bawel deh, hati-hati ya” balas indi
Tian mengangguk, lalu suara klakson membuat ketiganya menoleh kearah jalanan. Tian melirik jamnya, dia memang agak terlambat.
“udah sana, kamu jangan macam-macam di tempat kemping ya, jangan lupa diri, jangan terlalu kebawa suasana, jangan terlalu banyak main, jangan lupa istirahat” mamanya menasihati. Indi dan tian hanya saling pandang, sudah sangat hafal kebiasaan mama mereka. Padahal kemarin tian sudah di gembleng mamanya, tapi saat terakhirpun, mamanya masih sempat mengucapkan beberapa petuah lain.
Setelah mencium mama dan Indi dan menitipkan salam pada papanya yang sedang di Prancis, Tian pergi.
“ohaaaammmmmm…. Kita udah dimana ne??” Tanya Tian yang baru bangun dari tidur ayamnya.
“baru masuk Bogor, buat ke bukemnya nempuh kira-kira satu jam perjalanan lagi, lo tidur aja, ntar gw bangunin kok” jawab Krisna yang sibuk dengan HandPhonenya.
Namun Tian tak berniat untuk tidur, mengambil i-pod  dan mengikuti alunan lagu di dalamnya.
“HP kakak lo kok gak aktif terus sih?!” krisna bertanya.
“rusak” kata Tian singkat karena ia tengah menikmati lagu favoritnya ‘my love’.
“lo kenal kakak gw dimana?” Tian membuka percakapan,
“ kalo gak salah, dia nabrak gw gitu pas dari tempat bimbel, dia takut banget, dan pas nanya mau ganti rugi apa, gw cuma minta nomor hp nya. Ya udah kita kenalan dari situ” tian membentuk huruf O dengan bibir mungilnya.
Tian, sebenarnya adalah cewek super manis, dengan hidung lumayan mancung(kalo gak bisa di bilang pesek), bola mata coklat yang sangat berbeda dari kakaknya (mata indi hijau cerah), pipi tembem yang membuat matanya semakin sipit, bibir mungil yang menggemaskan, dan menyempurnakan penampilan wajahnya, mahkota yang menghiasi kepalanya berwarna hitam legam, dengan tinggi 160 dan berat 49kg, perfect, hanya saja, yang membuat Tian saratus delapan puluh derajat berbeda dengan indi, Tian cewe’ sibuk yang suka menjelajah, ekskul di sekolahnya macem-macem, dari Pramuka, PHPalam (Pelita Harapan Pecinta Alam), paskibraka semuanya di jambangi, sedangkan Indi, selain lebih suka menghabiskan waktu di rumah berada di depan laptopnya, sifatnya pun lemah lembut dan sedikit lebih tenang, sangat berbeda dengan Tian yang sifatnya keras, dan kadang tak pernah mau berpikir dua kali. Namun di balik itu, tian sangat peduli  pada orang lain.
“kakak lo udah punya cowo’!?” lanjut Krisna,
“I don’t know,  dia gak pernah ngebawa cowoknya ke rumah ce, padahal setau gw udah lebih dari selusin cowok yang nembak dia di berbagai kesempatan, tapi gitu deh, gak da yang ngebuat dia tertarik kaya’nya. Satu-satunya cowok yang sering bareng dia Cuma mas Febri, sahabatnya dari kecil, dan gw rasa, itu yang ngebuat Indi sulit ngedapatin cowok, semua temen-temennya ngira indi sama mas febri tu pacaran, emank sih mereka dekeeet banget, tapi ya gitu deh, gw gak tau mereka udah ngelepas persahabatan mereka karena cinta ato gak, yang jelas gak da yang bisa misahin dua anak itu!” cerita Tian panjang lebar.
“febri tu, cowo’ yang make motor Tiger, yang punya poni itu bukan? Yang kulitnya putih?” Tanya Krisna lagi,
“yups, cowok cakep tinggi cuek, and sekaligus dingin banget, loe kenal?”
“gak” jawab Krisna singkat,
“hmmm, dia itu selalu jadi idola di manapun, waktu SMA aja temen-temen smp gw pada gila banget ma mas febri, gak da cewek yang gak naksir dia, cakep, tinggi, putih, pinter,…”
“dan dari semua kesempurnaan yang lu jelasin ke gw, gak da kemungkinan Indi suka sama tu cowo’?” potong Krisna,
“gw gak tau, may be yes, mey be no, semua orang juga nganggep Indi bego’ waktu tau dia sama Mas  Febri  Cuma sahabatan, secara apa sih yang kurang dari mas Febri? Well, mungkin emank mas febri tu tipe cowok cuek, tapi tu malah ngebuat dia tambah cool…” kata tian mengerjapkan matanya,
“kenapa lo gak nembak dia aja!!?” kata Krisna ketus
Tian terlihat salah tingkah gw sukanya ma elo tau!!! Batin tian, “gw…gw…” tian tergagap, namun ia di selamatkan oleh bunyi hp nya,
“panjang umur nih orang, halo, ada apa mas”
“ian ne indi, eh buku gw yang lo pinjem kemarin lo taro mana?! Gw butuh banget” suara indi terdengar panic.
“hm, di atas meja belajar gw ada kok,”
“GAK ADA!!!!”
“di bawah bantal kaya’nya, emang buat paan?”
Tuut…tuut…tuut…
Tian memandang hpnya bingung, ini anak kesambet apa ya?
“siapa?” Krisna yang sedari tadi memperhatikan Tian berbicara,
“indi” jawab tian singkat.
Lima..
“kita udah sampe?” Tanya Tian
“yupz, turun yuk” krisna menjawab seraya bangkit dari kursinya,
Mereka menuruni bus dengan puluhan anak lainnya, dan mulai mendirikan tenda masing-masing, di sekolah mereka telah di bagi menjadi beberapa kelompok, yang 1 kelompok terdiri dari 7 orang anak, dan tian senang sekali 1 kelompok dengan Krisna.

“ra, masak yuk” ajak tian kemudian, ketika mereka tengah bersandar di bawah pohon cemara yang menjulang tinggi,
Krisna, Tio dan Dina kebagian mencari kayu bakar, Tian dan Dyra bertugas untuk memasak sedang dua cewe’ lainnya mencari air, dan mulailah kegiatan pertama mereka di bukem. Matahari telah 2 jam terbenam ketika mereka menikmati makanan yang begitu pas-pasan.

Mereka membuat api unggun di tengah-tengah tenda yang berjejer rapi dan menghabiskan malam pertama mereka dengan bernyanyi ceria, sungguh mengecewakan ketika para guru berteriak menyuruh mereka tidur.

Pukul 01.00 dini hari Tian terlelap, sementara dyra, rika, angel dan dina masih terlibat dalam pembicaraan tentang gossip terhangat di sekolah. Ketika satu persatu anak-anak cewek itu mulai mengantuk, Krisna dan Tio masuk ke dalam tenda mereka dan berkata “ok, kalo kalian masih mau ngegosip, kita bisa di marahin ma guru! Jadi mending kalian tidur!!!” disambut dengan celotehan seperti “ini kita juga mo tidur” atau “gak liat kita mo tidur?”


“WAKE UPPPPPPPP!!!!” Teriak bu Dian ketika pagi berikutnya mereka masih meringkuk di bawah selimut,
“addduhh, jam berapa sih? O MY GOD!!! Baru juga jam 4 subuh, gila tu guru” celoteh mulai terdengar di masing-masing tenda,

“tian… bangun dong!!!” dyra menguncang-guncang tubuh Tian yang tak bergerak,
Byurrrr….
“a…a…pa sih, banjir ya?” tian tersentak dari tidurnya dan mendapati wajah dan kerah baju tidurnya basah,
“siapa yang nyiram gw….!!!” Teriak Tian
Dan anak-anak menunjuk Krisna.

Tian masih marah pada Krisna karena membangunkannya dengan cara yang kurang kemanusiaan, dan Krisna pun tak menunjukan tanda bahwa dia menyesal, dia malah menunjukan tampang ‘begitu lebih baik’ yang membuat tian semakin kesal.
Kemarahan tian belum juga reda pun ketika mereka makan siang di dekat sungai.
Para guru memberikan mereka game yang seru sekali ketika mereka menyelesaikan makan siank. Mereka harus melalui beberapa rintangan yang telah di siapkan di dalam hutan, mengikuti jejak yang benar dan mengabaikan jejak yang keliru, mereka harus tiba di tenda mereka sebelum gelap, yang pertama sampai akan mendapat tambahan nilai untuk jungle survivalnya.
Kelompok nya sama dengan kelompok yang telah dibagikan. Dan meskipun tian masih geram dengan Krisna, mereka harus bekerja sama guna melewati tantangannya.
“ok, ada beberapa jalan yang akan kalian tempuh, kalo kalian memang gak sanggup, kalian tinggal balik dan bilang kalian nyerah. Tapi ingat, rintangan yang ibu berikan sama sekali gak akan ngebuat kalian celaka, jadi kalo kalian ngira ini akan nyusahin kalian mending kalian balik! Finishnya gak jauh dari sini, dan ibu gak akan ngasi tau dimana, kalian hanya perlu tau, tempat terindah adalah tempat dimana kalian bisa nyentuh langit”
Bingung dengan kata-kata terakhir ini mereka pun memulai, tian mendapat sedikit kesulitan ketika di haruskan mendaki bukit terjal “ok gw nyerah, kalian tau gw gak suka ketinggian!!!” tian sedikit histeris,
“lo Cuma perlu nutup mata, jangan liat ato ngebayangin berapa tinggi bukit itu, inget aja kita semua pasti nolongin lo kalo lo kenapa-napa” Krisna mengingatkan, dan tian mekipun masih kesal, memperhatikan bahwa krisna sangat peduli terhadapnya, dan ini membuat tian begitu bahagia.
Tian ingin sekali menangis ketika akhirnya mereka sampai di atas, dia juga tak memperdulikan teman-temannya berkata pemandangan dari atas bukit begitu menakjubkan.
Setelah beristirahat 30 menit, mereka melanjutkan perjalanan, menuruni bukit mengikuti jejak yang ada dipohon, mereka pikir tersesat, karena setelah satu setengah jam berjalan mereka tak menemukan satu petunjuk pun, sampai Rani berteriak “di sini ada anak panah” dan mereka mengikuti anak panah itu, dan tiba di sebuah sungai yang mengerikan.
“kita gak mungkin di suru berenang kan? Kita bisa mati” kata Tio lebih kepada dirinya sendiri sedang Angel berkata “gw rasa kita di suru terbang, ada yang punya sayap?” membuat teman-temannya tersenyum.
Krisna mengamati sekitar mereka, mendekati batu besar yang warnanya aneh, dan melihat petunjuk anak panah yang mengarah ke belekang pohon kedondong, krisna mengikuti petunjuk dan melihat bahwa mereka bahkan tak harus menyebrangi sungai, Karena ternyata mereka di tuntun untuk memutar jalan dan kembali ke atas tebing tadi.
“apa maksudnya!?” dina menyuarakan apa yang ada di hati Tian,
“kalian gak sadar ya?” Tanya krisna kemudian, teman-teman mengerlingnya bingung.
“maksudnya, tempat yang di maksud bu dian itu ya ini, finishnya di sini” kata Krisna lagi,
“hah, loe tau dari mana? Bu Dian gak pernah bilang tu di sini” Dyra sedikit bingung, wajah putihnya berkeringat, sama seperti yang lain, jam di arloji tian menunjukan pukul 05.30 pm, yang artinya mereka telah berjalan hampir 5 jam.
“tempat terindah adalah tempat dimana kita bisa nyentuh langit!” kata krisna mengutip “tempat terindah itu ya tempat dimana kita bisa nyelesain rintangan-rintangan ini dengan kata lain tempat finisnya dan tempat dimana kita bisa nyentuh langit,  maksudnya tempat paling dekat dengan langit—bukit ini— gak ada tempat tinggi lainnya kan yang kita lewati?” krisna menjelaskan,
“jadi maksud kamu?!” tian memandang berkeliling, “finishnya di tempat yang udah kita lewati?”
“that’s right!” suara bu dian mengagetkan ke 7  anak muridnya. “ok, masing-masing 85 untuk kalian, dan” dia memalingkan wajahnya ke krisna “untuk kamu, 100” membuat krisna bersemu merah.
“apa yang di bilang sama Krisna  semuanya bener, ibu ngasi kalian tantangan ini, biar kalian itu bisa mikir jauh dari logika, pak hadi kasi tau ibu, katanya beliau baru aja nyegah kelompoknya Rian cs nyelam ke sungai, mereka pikir finishnya di sebrang sungai, padahal ibu pernah bilang, kalian gak akan celaka, ok, mending kalian balik ke tenda, ibu harus nunggu anak-anak lainnya lagi, ada pak ikrar di tenda, kalian minta aja hadiah sama beliau” celoteh bu dian.
Dengan senyum mengambang di wajah, mereka menuruni bukit, tian sudah lupa akan kemarahanya  pada krisna, dan ketika pak ikrar membawa mereka ke bukit bintang—setelah makan malam yang telah di siapkan guru-guru—, mereka terkagum-kagum menyadari bahwa ternyata bukem mereka terletak di lembah yang cukup tinggi, sehingga ketika malam mulai merambat, mereka dapat melihat kelap-kelip lampu kota bogor di bawah. Tian merekam pemandangan luar biasa itu dengan handycamnya untuk di tunjukan pada indi, betapa ruginya indi karena tidak ikut, dan meskipun tian sangat-sangat takut akan ketinggian, mau tidak mau ia menyadari bahwa tempat tinggi adalah tempat yang paling sempurna untuk melihat sesuatu yang luar biasa.
Hampir 2 jam mereka menghabiskan waktu memuji betapa indahnya pemandangan dari atas, dan ketika pak ikrar menyuruh mereka untuk kembali, mereka meninggalkan tempat itu dengan enggan.
Malam telah mencapai titik tergelapnya ketika mereka di paksa untuk tidur, namun malam terakhir di tempat itu sepertinya membuat anak-anak kelas dua ini tidak ada yang berniat memejamkan mata, dan mereka malah memaksa 6 orang guru dan 2 penjaga kantin yang ikut untuk bergabung dengan mereka ketika mereka duduk meringkuk di bawah siraman hangatnya api unggun yang di buat.
2 jam setelah pergantian hari pak ikrar memaksa mereka masuk ke dalam tenda masing-masing, tak ada yang membantah karena semua sadar malam itu benar-benar larut!
Namun mereka hanya masuk ke dalam tenda, melanjutkan aktivitas di dalam. Tio dan Krisna menyelinap masuk ke dalam tenda anak perempuan membuat Tian yang sedang menguap hampir tersedak, kaget! Mereka membawa kartu remi dan beberapa cemilan yang di sambut dengan jeritan senang tertahan teman-temannya, Angel meraih tasnya yang penuh makanan dan mengeluarkan semua isinya.
Dan begitulah mereka melewatkan sisa malam, bermain sambil cekikan geli, bahkan tian yang akan memilih tidur pun ikut bermain. Tenda mereka bukan satu-satunya yang begitu, hampir semua tenda tak ada yang benar-benar sepi. anak-anak menginginkan suatu kenangan indah di malam terakhir!
Namun ketika waktu menunjuk pukul 4 pagi, para guru masuk ke semua tenda dan menyuruh anak-anak tidur karena besok pagi mereka akan melakukan sedikit kegiatan sebelum pulang, dan kalau mereka tidak beristirahat di jamin mereka mungkin takkan bisa mengucap salam perpisahan untuk bukem ini.
Dan semua anak menuruti perintah ini, krisna dan tio yang sudah begitu lelah memilih untuk tidak kembali ke tendanya, membuat rani dan dyra sedikit gelisah, “addduh plis deh, kalian gak pecaya sama kita?” krisna menenangkan, dan mereka pun tertidur, dengan krisna dan tio berada di bawah kaki anak cewek.

Sekitar pukul 7.50 pagi bu Dian berhasil membangunkan seluruh murid-muridnya, padahal dari jam 6 lewat ia telah berteriak menggunakan pengeras suara, namun hanya beberapa tenda yang terganggu dan yang lainnya masih tetap tertidur seperti tak ada apapun, dan ketika seluruh muridnya berkumpul di tengah-tengah tenda tempat mereka mambakar api unggun semalam, dengan mata super merah ia meraung “kalian tau jam berapa sekarang? Masih ada satu kegiatan yang belum kita lakukan  dan bis sekolah datang pukul 11 pagi, bagaimana mungkin cukup waktunya!!!?”
“Sekarang kalian makan, semuanya udah di siapin!!!” lanjutnya membubarkan barisan anak-anak yang masih sangat mengantuk itu!

Mereka baru selese mempersiapkan diri, mandi dan berkemas pukul 10 lewat, yang artinya kegiatan —yang sama sekali tidak mereka tau—takkan di lanjutkan.

Tian memandang sedih bukem yang hilang di antara pohon-pohon ketika mereka menuju perjalan pulang, tidak rela rasanya meninggalkan tempat itu, begitu indah, begitu menakjubkan, tak terlupakan.
“udah lha, laen kali kita pasti bisa ke sana lagi” kata krisna memperhatikan pandangan Tian.
Bunyi hp tian menyadarkannya dari lamunan,
“halo” kata tian lirih,
“sayang, kamu dimana? Jadi pulang hari ini kan? Mama telepon berkali-kali kok gak di angkat sih sayang?” suara mama tian terdengar panic.  
“aku ge di jalan, m’ap ma di sana gk da sinyal hp, jadi aku gak bisa ngasi kabar apa-apa” tian memberi alasan,
“oh ya udah deh, hati-hati ya sayang”
“he’eh, ma indi mana?”
“indi pergi ma febri dari tadi pagi, katanya mau ke dufan… mungkin sorean pulangnya” jawab sang mama,
“ke dufan sama mas febri!?, tapi kalo mereka udah jalan-jalan pasti pulangnya malam ma…—krisna yang duduk di samping tian tersedak— yang jemput aku siapa? Mama? Papa masih di paris kan?” katanya sedikit histeris
“nanti mama yang telepon, kasi tau aja kalo kamu udah sampe, mama gak bisa, ada acara sama temen mama”
“ya udah de ma, aku mo tidur ne, lagian sinyalnya buruk, dada mama..” tian memutus kontak.

“indi pge ma cowo’ itu?” krisna membuka pertanyaan setelah ia sibuk dengan pikirannya.
Tian mengangguk “napa?”
“sering ya mereka keluar minggu?”
“well, kalo gak sibuk”
Dan monster yang hidup dalam tubuh krisna maraung marah.

Mereka tiba di sekolah sekitar pukul 3 lewat, perjalanan yang cukup melelahkan namun sangat dinikmai. Mereka kemudian mengemasi barang masing-masing, di tengah ke sibukan itu, tian segera meng-sms mamanya.
Satu persatu anak-anak itu pulang, hanya tinggal beberapa anak termasuk tian dan krisna yang ada ketika akhirnya mobil indi masuk ke pekarangan sekolah. Tian dan krisna menoleh, namun betapa sakit hati krisna, ketika melihat bahwa indi tidak sendiri Karena ternyata yang menyetir mobil adalah febri.
“ndiiiii” tian berlari menuju indi, dan tenggelam dalam pelukannya. Indi memukul pelan kepala adik kesayanganya itu “lo pergi lama banget tau gk?” indi mengangkat wajahnya dan melihat krisna sedang memandangnya. Ia mengalihkan perhatiannya dengan menyuruh febri mengambil barang-barang tian,
“barang lo dimana!?”  tian menunjuk tepat di samping krisna berdiri yang membuat indi harus kembali bertatapan dengannya.
“feb, lo bisa ngambil barangnya tian kan?” indi berkata, dan febri mengerti maksudnya, ia kemudian berjalan kearah krisna.
Gelombang amarah kembali menguasainya, ingin sekali febri menghajar orang yang berdiri mematung di depannya ini, orang yang merebut perasaannya yang membuat wanita terpenting dalam hidupnya —setelah sang ibu—jatuh cinta, febri membungkuk mengambil tas tian.
Di sisi lain krisna memandang febri dengan perasaan luar biasa kesal, hingga tak mungkin tak ada yang menyadari tubuhnya bergetar menahan amarah, ia mematung di tempatnya, mengerling dengan pandangan tajam kearah febri membungkuk, ingin sekali ia menghajarnya saat ini juga.
Sesaat sebelum pergi febri memandang krisna penuh dengki, begitu juga sebaliknya, kedua wanita yang berdiri tak jauh dari mereka memandang ngeri, tian begitu heran, bukankah mereka tidak saling kenal??? Sedang indi, memanggil febri, berharap febri tak melakukan apapun. “feb, cepetan napa!!!?” teriak indi. Dan dengan satu lirikan super duper kejam ia meninggalkan krisna yang juga punya perasaan yang sama,.
“kris… gw balik duluan ya, sampe besok” teriak tian, tak menyadari kegusaran di wajah krisna, febri atau kakaknya.

“……. pas kita di kasi games, seruuu banget, kita ngejelajah hutan naik bikit trus turun lagi, aku gak berani, tapi krisna ngeyakinin aku, akhirnya kami sampe, dan ngelanjutin perjalanan, krisna banyak banget bantuin aku, dan dia juga yang nunjukin dimana finisnya, padahal kita gak da yang ngerti, tapi krisna emang udah kaya’ detektif beneran. Malam terkhirnya seru banget, kita gak ada yang tidur, pada cerita2, krisna datang ke tenda cewek bawa cemilan sama kartu, emang dia tau banget kita pada kelaperan” celoteh tian ketika ia sampai dirumah, ssetelah melepas kangen dengan mama dan rumah serta menelpon ayahnya yang masih bertugas di prancis,tian langsung menodong mamanya dengan beribu cerita lucu dan mengesankan.
Ia baru selesai ketika sadar perut nya konser minta untuk di isi, akhirnya ia mandi dan segera menuju meja makan.

“lo rugi gak ikut ndi” tian memulai ceritanya ketika malam mulai turun, ia sedang bermain menggunakan laptop milik indi, sedang indi mencoba untuk berkosentrasi dengan soal mid yang ada di depannya.
“krisna tu baiiik banget, gw kaget pas pertama nyadarin, gw kira dia tipe yang jayus dan gak bisa serius, tapi ternyata bisa loh dia jadi serius. Penuh perhatian, pengertian…”
Indi memperhatikan soal yang ada di hadapannya, namun huruf-hurufnya kabur, tak ada yang dapat ia baca, karena air mata telah memenuhi mata indahnya.entah apa yang merasuki hatinya, kini benda itu sakit sekali, seperti ada sesuatu yang tertahan di tenggorokannya, membuat ia sulit menarik napas, mendengar semua cerita dan pujian tian terhadap orang yang di sayanginya membuat indi seperti tertohok, tak mampu berpikir apapun, ia begitu menderita. Kenapa batin indi kenapa lo ngebo’ongin gw Kris…. KENAPA??!!! Apa gw bener-bener gk punya arti di mata lo? Kenapa!!!!!??
“…… ampun di, gw rasa gw beneran cinta sama  itu cowok!!!” Tian mengakhiri  ceritanya.
DZZZZZZTTT
Indi tersentak, tangannya gemetar, adiknya, adik kesayangannya, mencintai orang yang di dambakannya!
Indiii, berapa lama lo kenal krisna? Berapa lama juga lo kenal adek lo? Tian gak akan bisa nerima kalo tau lo juga suka ma krisna! GAK!! Loe harus ngerelain krisna, lupain dia ndiii…   batin indi bereaksi.
“ian, lo bener-bener suka ma krisna?” indi bertanya, Menahan sebisa mungkin agar suaranya tak bergetar. 
‘ian…”indi berbalik, mendapati tian yang tertidur pulas di kamarnya.
Indi menghampiri tian, mengecup kening adiknya dan berbisik “gw gak akan ngerebut dia ian, gw ikhlas loe milikin krisna” dan air mata indi kembali mengalir deras.












Enam..

“ya ampunnn, kok gak da yang bangunin aku sih?” tian berteriak kaget melihat jam berbentuk hati di kamar indi, jam 6 lewat.
Ia berlari menuju kamarnya, mengambil handuk dan mulai berpakaian, ia baru selese sekitar pukul 7 kurang 15 menit, “gak sarapan?” indi memperhatikan tingkah adiknya, tian menggeleng, “mama mana?” tanyanya lagi, “kantor” jawab indi singkat seraya mengigit roti panggangnya.
“hah?” gw belon minta duit….!” tian berteriak kaget lagi.
“adduh, loe berisik banget sih… ntu uang lo di atas tivi” indi menunjuk dengan dagunya.
Tian berlari mengambil uangnya, dan kembali berlari menuju halte, dan segera berangkat sebelum ia ketauan terlambat lagi, kejadian 3 bulan lalu masih jelas terekam dalam otaknya.


“tian…” krisna menghampiri tian yang berdiri di depan papan pengumuman.
“gw punya satu prtanyaan buat lo, ikut gw ke kantin bisa?”tian mengangguk bersemangat.
“ok, gw udah siap buat ngejawab” kata tian tak sabar setelah sekian lama mereka hanya duduk diam.
Krisna mengangkat wajahnya dari mie ayam yang belum di sentuh, dan berkata dengan tegang “febri sama indi pacaran ?”
Tian melongo kaget, sama sekali tak menyangka kalau pertanyaan yang di ajukan krisna adalah pertanyaan seputar kisah indi dan febri.
“gue gak tau” jawab indi ketus, “dan kenapa gw harus ngasi tau ke elo kalo gw tau???? Lo naksir kakak gw?” lanjutnya masih dengan nada jengkel.
“gw suka sama lo”
Andai saja tian tidak melihat mulut krisna bergerak, ia yakin ia hanya membayangkan kata-kata tadi.
“loe mau jadi cewe’ gw?” krisna melanjutkan.
Tian hanya bisa terbengong-bengong, mulutnya membentuk lingkaran yang sempurna, butuh beberapa menit bagi tian untuk meredakan jantungnya dan berkata “loe becanda ya?”
“gw serius, lo mau jadi cewe’ gw??” krisna mengulang permintaannya.
“mau” tian menjawab secepat kilat,
Krisna menghela napas, dan tau bahwa keputusannya kali ini beresiko. Namun dia hanya punya cara ini. Hanya ini.
“kenapa?” Tanya tian begitu mereka memasuki kelas.
“hm?”
“lo diam aja” tian bingung, berbeda dengan tian, krisna terlihat tertekan, bukankah mereka baru saja jadian? Lalu kenapa hanya tian yang terlihat sumringah dan berbunga-bunga.
“gue, gue.. gue Cuma shock karna lu mau jadi pacar gue” jawab krisna
Wajah tian memerah, darah serasa megalir deras ke wajahnya. Ia tertunduk malu dan tersenyum bahagia.
“makasih ya,”
“buat apa? Tanya krisna bingung.
“karna jadi cowok gue” kata tian tersipu.
Krisna hanya mengangguk dan kembali melamun.
Guru mereka datang, namun keduanya tidak dapat berkosentrasi. Tidak sampai jam terakhir berbunyi, dan krisna menawarkan diri untuk mengantar tian. Tian senang luar biasa.
“mau mampir?” Tanya tian, ketika mereka sampai.
Krisna menoleh kearah rumah, dan melihat garasi mereka kosong.
“ortumu belum pulang?”
Tian menggeleng,
“indi?” Tanya krisna lagi,
“gak tau kalo dia, tapi kayaknya belum. Mobilnya belum ada” jawab tian. “kenapa sih?”
Krisna terdiam sejenak, lalu “gue gak enak kalo bertamu saat rumah lu sepi begitu” katanya beralasan.
“ada bi ana kok” dumel tian.
“lain kali yah” sambung krisna,
Tian turun dan melambai pada krisna. Ia masih belum percaya hari ini ia resmi pacaran dengan cowok yang ditaksirnya sejak dulu. Ia menggeleng pelan, menjernihkan perasaannya dan berlari masuk rumah.
“biiiii anaaaa” teriak tian,
Bi ana datang dengan tergopoh gopoh, “iya non”
“aduh, aku seneng bangettt biii” katanya pada wanita separuh baya itu.
Bi ana hanya bengong melihat anak majikannya bersikap aneh.
Tian yang sudah tak sabar memberi taukan berita gembiranya berlari menuju telpon rumahny dan menekan nomor hp indi,
“halo ndi, tian nih lo dimana?”
“gw masih di kampus mau pulang, kenapa ian?” suara indi di seberang,
“ndiii, gw di tembak krisna!!!!!!!”
“………..”
“dan waktu dia nanya gw mo jadi ceweknya dia to gak, gw langsung jawab ia, adddduhhhh, lo pulang cepetan ya, gw gak sabar pengen cerita…” tian mengoceh,
Tuuut…tuuut….tuuut….
“halo, indi? Kok mati?”tian bingung.












Tujuh..


Ada masa ketika hati tergores oleh kebohongan
Ada waktu ketika perasaan ternoda oleh kata-kata
Ketika cinta harus memilih
Dan pengorbanan menjadi pilihan tersulit
Maka akan tersibak sebuah layar yang penuh dengan airmata


Indi memandang jauh ke warna biru muda itu, seakan menyatu bersama langit, hati dan perasaannya benar-benar hancur, ingin sekali ia berteriak, mengeluarkan semua kesakitannya, berharap debuaran ombak dapat menghapus sakit di hatinya.
“halo” suara febri terdengar dari tempat yang jauh sekali, “in… ada apa?”
“feb, lo tau gak? rasanya sakit banget, di hati gw feb, perih! Gmana cara ngilanginnya?? Gw butuh obat feb! tapi satu-satunya pil yang gw punya udah gw serahin ke orang lain! Sakiit! Gw gak mau kehilangan dia febri!!!” tuutt…tuuut….
“ha…ha..halo… in…indi lo kenapa?” febri tersentak kaget, ada dengan indi? Tak pernah ia mendengar suara indi begitu menderita, apa yang terjadi?
Febri mengeluarkan corolla hitamnya, dan memepercepat laju mobilnya menuju rumah indi, hatinya begitu gelisah, indi loe kenapa?

“indiiiii….ind…. loe dimana?” suara febri mengaggetkan tian dan bi ana yang sedang menikmati makan siang,
“ada pa mas?” Tanya tian menghampiri febri yang telah berada di kamar indi,
“indi mana?” Tanya febri, wajahnya berubah menjadi sepucat tembok ketika tak melihat indi di kamarnya,
“indi bukannya di kampus?”
“ddia…dia udah ppulang dari tadi!”suara febri mulai terdengar ketakutan, “dimana dia?” raungnya.
“mas, indi kenapa?” Tanya tian panic, “tadi dia sempet nelpon aku, katanya lagi di jalan mo pulang, tapi pas aku cerita soal aku di tembak ma krisna teleponnya langsung mati, aneh juga sih mas, aku…” tian tak melanjutkan ceritanya karena tiba-tiba wajah febri mengeras dan suaranya yang menyusul benar-benar menyeramkan, “KAMU DI TEMBAK KRISNA!?” tanpa menunggu apapun bahkan jawaban dari tian, febri berlari menuju mobilnya, membuat tian terbengong-bengong.
Febri melintas di jalan yang lumayan padat itu dengan hati yang berkecamuk, takut, indi pasti ke sana, ke tempat mereka menghabiskan waktu berdua, tempat paling indah yang pernah di jumpai indi, tempat yang selalu ia kunjungi ketika perasaannya terluka, ya pantai itu!

tak sulit bagi febri menemukan indi, karena selain tempat itu jarang di kunjungi orang, febri juga tau persis posisi dimana indi ketika memandang laut, tepat di atas bukit yang menjorok ke laut, bukit itu hampir tak pernah di kunjungi orang, kecuali mereka berdua, karena letaknya sedikit tersembunyi.
Febri memandang siluet wajah indi, ada air mata di sana, dan betapa terkejutnya febri ketika melihat indi dari dekat. Indi berantakan, wajahnya bepilin, dan ia memluk dirinya sendiri, jelas bukan karna kedinginan.
“indii” panggil febri pelan,
Gadis itu mengangkat wajahnya “ggue…ggue… feb… krisna… tian….” Indi tersedu-sedu, matanya merah darah.
“udah yah, jangan nangis lagi” kata febri lembut.
“rasanya gue pengen nyebur kesana aja feb, berenang bebas bareng ikan-ikan di bawah sana”
Darah surut dari wajah febri, “lo ngomong apa ndi?”
 “lo gak tau gimana rasanya, sakit feb! sakiiit..”
“lo mo ngajarin gw? Lo pikir gw gak pernah kehilangan orang yang gw sayang? Nyokap gw in!!! nyokap gw pergi ninggalin gw selamanya! Dan lo masi mikir kalo gw gak ngerti perasaan lo? Lo Cuma kehilangan krisna, lo masi bisa megang dia, nyentuh dia, mandangin dia!!!? Sedang gw? Gak in! tapi gw gak nyerah kaya lo, gw bisa ngatasin penderitaan yang jauh lebih besar daripada yang lo rasain, lo tau gimana sesak dada gw waktu tau gw gak akan bisa ngomong lagi sama nyokap gw? Tau gak lo? Gk indi!! Lo masih bisa ngobrol sama krisna! Jadi jangan pernah ngomong kalo gw gak ngerti ato gak pernah ngerasain apa yang lo rasain!!” kata krisna, amarahnya terbit melihat keputus asaan indi. ia benci melihat indi begitu menderita hanya karna seorang cowok abg.
“ggue… gue gak bermaksud, ggue Cuma…” indi merasa bersalah,
“cukup! Sekarang hapus airmata lo, dan dengerin gw! Gw tau lo cewek terkuat yang pernah gw kenal ind, jadi plis, jangan pernah jatuh karena masalah sederhana kaya’ gini, jangan in! lo tau gw bakal selalu ada buat elo!” febri memeluk tubuh infi yang gemetar .
“padahal gw udah ngerelain krisna buat tian, ttapi wwaktu tian bilang kkalo krisna nembak dddia, gw masih sakit feb!” indi tersedu.
“gw tau sayang, tapi jangan biarin diri lo terpuruk terus, lo gak bisa selamanya nyalahin diri elo kan? Jadi sekarang mending lo pandangi laut dan rasain anginnya, itu yang paling lo suka, bener gak?” suara febri berubah 180 derajat, lembut dan penuh perhatian.
Ia melepas pelukannya, dan memandang jauh ke dalam mata indi, berharap menemukan sinar di mata hijau terang itu, namun airmata masih mengaburkan pandangan indi, dan badannya mulai terasa panas.
“in lo kenapa?” febri menyadari perubahan indi,
“gw belum makan feb” jawab indi, mengingat jarum jam di arloji febri menunjuk arah 6, ini bukan masalah kecil, dan febri menarik lengan indi mengajaknya ke salah satu restoran tak jauh dari tempat mereka.

“huffh, kenyaaaanggg” suara indi memberikan sedikit senyum pada wajah cemas febri, “thanks feb, tanpa loe gw mungkin udah…” indi memperagakan tangannya memotong lehrnya sendiri.
“gak nyangka ya gw bisa ngebales utang budi gw? Gw pikir Cuma elo yang bisa nenangin gw, ternyata gw juga punya kesempatan” kata febri.
“tau deh, gw juga kaget, mungkin karna gw lagi laper ya makanya gak mikir sehat, bisa-bisanya gue nangis Bombay begitu” indi memukul pelan kepalanya,  
“ya udah, kita pulang?” krisna menatap mata indi,
Indi tersenyum dan mengangguk, senyum pertama yang di liat febri sejak ia mendatangi indi.


“in, lo gak papa kan?” tian menghampiri indi yang memasuki rumah bersama febri,
“emang gue kenapa?” indi balik bertanya,
“gw gak tau, tadi mas febri kaya’ orang kesetanan nyariin elo, gw pikir lu kenapa-kenapa, “ tian memeriksa keseluruhan tubuh kakaknya dengan cemas.
“itu sih kebiasaan febri, elo kayak gak tau febri aja, gw ketusuk jarum dia udah mo ngebawa gw ke rumahsakit”
febri tertawa kecil.
“sukur deh kalo gitu, udah makan lo?” tian kembali bertanya, dan lega melihat anggukan indi.
“in, gw pinjem buku tentang animasi lo donk” febri membuka suara,
“buat apa? Emank hukum ada hubungannya sama animasi,?” indi sedikit keheranan, karena teman-temannya yang kuliah di jurusan hukum sama dengan febri tak pernah meminta buku animasinya, karena jurusan yang di ambil oleh indi adalah jurusan khusus yang jarang sekali berhubungan dengan jurusan lainnya.
“buat ngias laptop, bosen banget gw” jawab febri asal,
“lo ambil aja di kamar, buku sampulnya warna pink, gw pengen ke toilet bentar” kata indi.
“oke” jawab ebri sambil menaiki tangga menuju kamar indi.






“yang ini kan?” Tanya febri ketika indi masuk,
“yup, lo pulang gih, gue ngantuk banget” indi mengusir
“elo ya, uda di tolongin bukannya terimakasih malah ngusir-ngusir gw, ya udah gw balik” febri pura-pura marah, namun aktingnya tak berhasil sama sekali, karena indi tau, febri tak pernah sedikitpun marah padanya hanya karena hal sepele seperti ini, indi tau, febri sangat menyayanginya.
“ma’ap deh, gw Cuma pengen istirahat” jawab indi nyengir.
“iya, gw pulang ya, ati-ati”
“bukannya gw yang harusnya ngmong take care? Tanya indi kebingungan,
“well, gw khan lagi gak pengen lompat dari atas jurang ke laut” balas febri, membuat rona merah muncul di pipi putih indi.
“ok gw kalah, bye, gw gak kuat ke depan, jadi lo sendiri aja ya.” Indi merebahan diri di atas tempat tidurnya, dan menutup kedua matanya.
Febri menatap indi sekejap, lalu berjalan kearah mobilnya.
















Delapan..

Seminngu setelah kejadian di pantai, indi telah kembali menjadi indi yang  dahulu, ia bahkan telah benar-benar menerima krisna sebagai ‘pacar adiknya’ dan ketika krisna sering datang ke rumah mereka untuk sekedar say hello dengan keluarga tian, indi menyambutnya dengan senyum tulusnya. Membuat febri sedikit bingung, “gw udah mutusin buat ngelupain dia” alasan indi ketika ia menanyakan perihal perasaannya.
Meskipun febri tidak sepenuhnya yakin dengan perubahan indi, ia punya kesibukan lain yang menguras tenaganya, ayahnya memaksanya untuk pindah ke prancis dan meneruskan kuliahnya di sana, yang membuat febri harus berusaha keras untuk menolak kemauan ayahnya ini.

Tian yang beberapa hari ini selalu tersenyum senang membuat indi semakin mantap melupakan cintanya pada krisna, ia tidak ingin sama sekali membuat senyum itu hilang.
Dan ketika ayah mereka pulang dari prancis, membawa hampir satu koper oleh-oleh untuk mereka, indi terpaksa harus menahan perasaannya ketika malam itu mereka dinner, bersama ayah, ibu, febri, tian dan krisna, karena tian secara resmi memperkenalkan krisna sebagai pacarnya.
“loe pinter masak ya?” krisna mengaggetkan indi yang sedang termenung di depan kolam renang, menjulurkan kakinya sehingga benda itu menjadi sangat dingin.
“maksud lo?”
“ tian cerita, katanya elo yang masak makan malam tadi?” krisna mengebor mata indi, membuat indi salah tingkah.
“gw di bantuin sama bi ana kok” indi berusaha menyembunyikan perasaannya.
“kalian di sini?” suara tian kembali mengaggetkan indi. “gw cariin juga, mas febriiiiiiiiii, indi di kolam” teriak tian kemudian.
Febri sedikit berlari ketika menghampiri mereka, “in, ada yang pengen gw omongin” febri menarik lengan indi.
Entah hanya perasaan tian atau memang ada kilatan merah di mata krisna ketika febri menarik lengan indi. tian masih memikirkan kilatan itu, sehingga dirinya terlonjak 2 centi dari lantai ketika ayahnya memanggilnya untuk memberikan oleh-oleh.
Malam itu berlalu dengan sangat menyenangkan, dan ketika febri dan krisna pamit pulang, tian hampir menangis saking tidak relanya.


“ma, ayolah…. Plisssss” tian menempatkan kedua tangannya di depan dada sehingga ia seperti orang yang tengah berdo’a.
“tian kenapa tu ma?” indi yang baru pulang kuliah terheran melihat tian dengan wajah yang begitu memelas,
“ada yang lagi ngerayu mama nih sayang,” jawab mamanya melirrik kea rah tian.
“adduh ma, aku ne bukan ngerayu, udah jelas-jelas aku minta” kata tian lagi.
“mau apa sih lu?” indi makin penasaran,
“lo tau minggu depan tu tanggal berapa?” Tanya tian pada indi,
“minggu depan?” indi kebingungan demi melihat mata tian yang membulat,
“tanggal 14 april!!!!” tian mulai kesal karena indi sama sekali tak mengingat hari terpenting dalam hidupnya!
“oh, ulang tahun lo!?” kata indi bego, baru mengerti apa yang diminta tian, perayaan ulang tahun pastinya.
“ya ma… ultah ke 16 belas lho… pliss…plisssplisss” tian merujuk.
“aduh sayang, papa kamu baru pulang 3 hari yang lalu, masa udah harus nyiapin pesta lagi sih?” mamanya memberi alasan,
“kalo masalah itu, temen aku punya birthday organizer, jadi nanti dia yang ngurus semuanya, di kasi diskon lagi, jadi gak perlu repot ma… ayo donk…” tian memulai.
“tunggu papa dulu, nanti tian nanya papa ya..” kata mamanya menyerah, tian memang jika sudah menginginkan sseuatu pasti akan berusaha di dapatkannya.
“dasar lo,” kata indi ketika melihat senyum tian.
“papa kalo di paksa dikit pasti langsung mau tau” kata tian yakin.

“indiii, gw bilang juga apa, papa langsung bilang ia, horeee, seneng deh gw…” lapor tian ketika malamnya mereka menikmati pizza yang di bawa ayahnya.
“tian kalo maksa nyeremin sih” papanya beralasan, membuat semuanya tertawa kecuali tian yang merenggut.






















Sembilan..

“nih, terserah elo mau di apain, yang jelas jatah undangan buat temen-temen lo udah gw kasi” tian menyerahkan undangan tersebut ke tangan indi, sehari sebelum pesta. “and mas febri wajib datang” tambahnya sebelum berangkat sekolah.
“kanapa…”
“mau gw pamerin ke temen-temen” sambar tian bahkan sebelum indi menyelesaikan pertanyaannya.
“hah!? Lo kira febri barang langka apa? Di pamerin!!?” indi memprotes, namun tian yang sudah terlambat berlari secepat kilat menuju halte bis. Indi dan tian tak pernah berangkat bersamaan, karena selain indi yang biasanya berangkat kuliah pukul 8, tian juga jera di antar indi, karena semua teman cowo’nya akan memuji kecantikan indi. dan meskipun jika terpaksa indi menjemputnya tian harus menunggu hingga sepi dahulu.

“…jadi lo harus datang” indi menceritakan kemauan tian pada febri ketika mereka menikmati makan siang di kantin kampus.
“tapi gw kan bukan objek pengamatan!” kata febri,
“well, lo tau gimana anak-anak sma itu ngeliat lo khan? Something like a prince” indi memberi tahu,
Febri mengankat bahu, dan memasukan sebongkah burger ke dalam mulutnya.
“abhrs ibi aba kubiah?” febri bertanya dengan mulut penuh, membuat indi mendelik kepadanya. 
“maksud gue” febri menelan makanannnya “abis ini ada kuliah?”
“ada, HaKI” jawab indi pendek,
“owww, kalo gitu gw tunggu di taman depan ya” kata febri.
“mau gangguin cewek lo?” indi bertanya curiga,
“gak lha, Cuma mo godain dikit”
Pluk, sebuah pukulan mendarat di kepala febri, “sahabatnya baru patah hati juga!! Dan febri terbahak.
“tian, elo udah cakep kok” kata indi setengah dongkol setengah geli melihat adiknya yang tak kunjung beranjak dari cermin sejak 1 setengah jam yang lalu, “sekarang udah jam 7 kurang 20, kamu bahkan belon make sepatu, temen-temen kamu udah banyak yang datang tuh” indi mengingatkan.
“MY GOD!!” tian histeris, “gw lupa, ambilin sepatu yang gw beli kemarin dong, di bawah lemari” perintahnya. Dengan sabar indi mengambil sepatu itu. Dan pergi menuju kolam renang, tempat di selenggarakannya pesta.

“tian ngapain sih di atas?” febri berbisik pada indi, karena meskipun acara di mulai pukul 7.30 tian belum menyapa teman-temannya yang datang.
“lagi dandan” jawab indi,
5 menit kemudian tian muncul dengan wajah merona merah, berterima kasih pada semua yang datang, dan membuka acara bersama ayah dan ibunya.
Krisna berdiri agak jauh dari tempat tian meniup lilin, membuat indi tak hentinya menatap cowok dengan kemeja  hitam yang lengannya digulung hingga siku.
“kue pertama buat my parents,” kata tian ketika acara potong kue di mulai. Tian menyuapi kedua orang tuanya dan mendapat sebuah ciuman di pipi kanan kirinya. “yang kedua, buat my best sister,” kata tian lagi, dan menyuapkan sepotong kue yang sangat besar ke mulut indi, sehingga indi harus melebarkan mulutnya agar dapat menikmati kue itu. Semua tertawa ketika kue itu jatuh, karena mulut indi tak cukup besar untuk menampung semuanya.
Indi memberikan sebuah pukulan kecil di kepala adiknya, dan mencium keningnya.
“yang terakhir” wajah tian berubah merah, “buat my boyfriend” membuat semua pandangan tertuju pada krisna, yang maju dengan wajah sama merahnya.
Acara formal selesai, dan semuanya kemudian berdansa dan menghabiskan malam dengan ceria.

“mas febri, dansa ma aku ya…” tian menarik tangan febri, “elo sama krisna tuh” lanjutnya pada indi.
Indi punya kecurigaan besar kenapa tian mengajak febri berdansa, dan ketika di lihatnya teman-teman tian menjerit tertahan sewaktu tian mulai berdansa dengan febri, kecurigaannya terbukti.
Febri memang selalu menjadi pusat perhatian daimanapun ia berada, terutama perhatian cewek, karena postur tubuhnya yang atletis, kulitnya yang putih, tingginya yang mencapai 175cm, dan wajah belasterannya yang menggoda., dan sikap dinginnya yang melengkapi penampilan fisiknya.
Tapi bagi indi, febri tetaplah febri, tanpa semua kesempurnaan yang melekat pada febri, febri tetaplah sahabatnya, saudara laki-laki yang tidak di punyai, ia seperti dikirim khusus untuk indi. indi selalu merasa aman dan nyaman berada di samping febri. Ia menyayangi febri, karna febri selalu berada di sampingnya, mendampingi indi sejak mereka pertama bertemu saat masuk di sekolah menengah pertama dulu. Indi bahkan tidak ingat bagaimana dia bisa akrab dengan febri, yang ia tau, febri memang selalu ada untuknya.
Indi tersentak ketika seseorang menarik tangannya dan memaksanya ke lantai dansa, saat berikutnya ia mendongak. Krisna.
Indi menurunkan wajahnya, takut ada yang menyadari wajahnya mulai memanas.
Mereka berdansa lama sekali, dan indi yang langsung tersadar bahwa di situ ada tian, melayangkan pandangannya liar, mencari sosok tian, dan betapa leganya ia ketika melihat tian sedang berdebat seru dengan teman-temannya, tanpa memperhatikan indi dan krisna.
Dengan gerakan tiba-tiba krisna kembali menarik lengan indi, menuju ke dalam rumah. Krisna baru melepas pergelangan tangan indi ketika mereka sampai di taman depan rumah yang sepi.
Jantung indi berdegup tak karuan ketika krisna memandangnya.
“udah cukup sandiwara ini” krisna membuka suara.
“mma…mak..maksud l..lo?” indi menatap sepatunya.
“aku sayang kamu ndi!” krisna membuat hati indi terlonjak, tanpa sadar ia merasa begitu bahagia, namun sedetik kemudian ia berkata “suka sama gue?! Cewek elo tu tian!”
“ma;af ndi, tapi aku gak pernah suka sama tian!” krisna tertunduk
Indi tersentak kaget, “terus, maksud elo pacarin dia apa!” emosi mulai menguasai indi,
“aku.. aku Cuma pengen bisa deket sama kamu lagi” suara krisna mulai bergetar,
“loe manfa’atin tian?”
“aku gak tau mesti gimana lagi buat bisa ngeraih kamu indi, aku bingung banget  kenapa kita jadi jauh begini. Aku gak tau kenapa kamu marah sama aku, gak mau ketemu aku dan bahkan gak mau ngomong sama aku. Aku pikir ini jalan satu-satunya untuk bisa nyari tau alasan kamu benci banget sama aku. Jadi aku pacaran sama tian biar bisa bebas ketemu kamu. Aku tau ini salah, dan ini brengsek, tapi kamu bikin aku putus asa,” suara krisna bergetar.
“itu karena kamu udah ngebo’ongin aku krisna!!! Indi mulai histeris, ia kaget mendengar pengakuan krisna.
“maksud kamu apa in? kapan aku bohong sama kamu?”
“aku nunggu kamu hampir 3 jam, aku yakin kamu bakal ngejemput aku! Tapi kamu gak pernah datang” kata indi ikut beraku-kamu. “aku sedih karna kamu gak ngehubungi aku sama sekali, bilang gak bisa jemput atau gimana. Dan aku makin shock waktu liat mobil kamu di lampu merah dan ternyata kamu lagi sama cewek, pelukan” suara indi pecah
Butuh waktu lama bagi krisna untuk mengerti maksud pembicaraan indi, dan setelah berpikir keras, sebuah ingatan muncul di kepalanya.
“maksud kamu, kejadian beberapa bulan yang lalu? Tapi ndi, itu udah lama banget! Dan perlu kamu tau!! Cewe’ yang kamu liat itu! Adik aku, nira!! Adekku indi!!” krisna menegaskan. “waktu itu, mama masuk rumah sakit! Dan nira nangis karena dia pikir mama kenapa-kenapa! Trnyata mama nabrak orang, dan orang itu yang luka. Makanya mama suru aku jemput  di RS karena mobilnya masih di kantor polisi!” krisna menatap mata hijau cerah yang banjir air mata itu.
“tt..ttpi… tian… tian suka sama kam kris!!”
“dan aku gak pernah sedikitpun suka sama dia! aku suka sama kamu in, sejak kita ketemu pertama kali!!” suara krisna berubah.
“tapi kamu udah terlanjur pacaran sama tian!!” indi bersikeras,
“aku bisa putusin dia sekarang!”
“dan ngebuat adek aku patah hati? Hebat banget kamu!”
“aku Cuma pengen yang terbaik indi! aku gak cinta sama tian. Dan kalo aku terus-terusan ngebo’ongin dia, bakal lebih sakit”
Hening,
“satu hal yang aku pengen denger” krisna memulai “kamu suka sama aku?”
Indi mengangguk perlahan, dan krisna menariknya dalam pelukan.
“makasih indi, makasih karna kamu juga suka aku” suara krisna terdengar lega.
“wow, drama yang mengesankan banget!!”
Suara itu bagai halilintar yang menerjang indi. tian berdiri bagai patung, wajahnya pucat, seluruh tubuhnya gemetar, dan airmata menghiasi matanya yang berkilat merah.
“hebaat” tian menepuk kedua tangannya, “kado paling indah yang gue terima seumur hidup gue” suara tian begitu hampa.
“indi melepaskan diri, berlari menuju tian,
“ian, denger… ini gak…”
Plak
Sebuah tamparan mendarat di pipi indi,
“gw percaya sama elo, dan elo nyia-nyiain itu in..” airmata membanjiri pipi kedua gadis itu. “elo suka sama krisna? Padahal loe tau gue cinta mati sama tu cowok! jadi ini alasan kenapa elo sering kaget waktu gue cerita soal krisna? Sekarang gue ngerti semua makna tingkah laku elo selama ini!” tian menatap lurus-lurs, menghindar dari pandangan indi.
“dan elo” lanjut tian dengan nada menuduh yang begitu menyeramkan, “jangan sekali-sekali loe berani muncul di hadapan gue lagi!!” karna gue gak yakin gue bisa nahan gak ngebunuh elo!!” meskipun indi tau ini hanya gertakan tian, namun mau tidak mau ia melihat bahwa wajah tian begitu menderita.
Tian berlari masuk menuju kamarnya, tak di pedulikan beberapa puluh mata yang mulai bergerak ke ruang depan, karena pusat keributan ada di sana, namun yang mereka lihat hanyalah, seorang gadis dan 2 orang laki-laki dengan wajah merah.
Febri menarik indi dalam pelukannya, memaksanya untuk kembali ke kamar, dan memberi isyarat pada kedua orang tua yang tengah ternganga bingung, agar menutup acara tanpa kedua putri mereka.
indi menangis sesenggukan, seluruh tubuhnya terasa kebas, yang ia rasakan hanya kesakitan luar biasa tepat di dadanya. Dan meskipun febri masih memeluknya, indi merasa ia akan jatuh ke dalam lubang yang teramat dalam.
“gguu…gg…ggu…. Hiks, gguue ggak berm..ma…maksud… hiks… namun tenggorokan indi tercekik, jangankan untuk berbicara, bahkan menarik napas pun ia tak sanggup.
“gue bakal ngbujuk tian, loe tau gimana dia ngormatin gue kan!?” febri mencoba membujuk indi. namun bahkan indi tak mendengar.
“ggue… gue… hiks… gue…” suara indi melemah, membuat febri sedikit cemas.
“loe mending istirahat, besok semuanya bakal jauh lebih baik.
Karna tak mampu untuk membalas indi berbaring, berusaha untuk tidur tanpa melepas gaunnya. Febri menyelimutinya dan mengecup pipi indi, berbisik “semuanya bakal baik-baik aja, gue janji!”

Febri berdiri mematung di depan pintu dengan tulisan ‘tian rooms’ itu, berpikir apakah baik bila ia menganggu tian sekarang. Namun detik berikutnya ia telah mengetuk pintu, dan bersukur Karena pintu itu tidak di kunci.
Hal pertama yang di lihat febri adalah foto besar dua orang gadis yang berusia sekitar 6-7 tahun, bermain di taman yang indah, seorang di antaranya, memegang bunga lili putih dengan senyum lebar—indi— dan yang lainnya tertawa menuju kamera. Foto itu berbingkai emas, dan pasti jarang di bersihkan, karena kacanya sedikit berdebu.
Suasana kamar tian telah jauh berubah sejak ia memasukinya terakhir kali, ia bahkan lupa kapan.
febri melayangkan pandangannya ke seluruh kamar, dan melihat bahwa tian tengah duduk menghadap jendelanya, memandang jauh ke malam yang pekat.
febri menghampiri tian, mengambil tempat di samping tian yang termenung.
Menyentuh bahu orang yang telah di anggapnya adik sendiri itu. Tian sedikit kaget melihat febri, rupanya ia bahkan tak menydari bahwa febri memasuki kamarnya.
“hy” febri menatap mata coklat tian.
“kalo mas ke sini buat ngomongin masalah tadi, mending mas febri pulang!” tian langsung ke pokok permasalahan.
febri yang melihat air mata segar membanjiri pipi tian, mengambil keputusan untuk tidak membicarakan apa yang menjadi maksud dan tujuannya.
“nih” krisna menyodorkan sebuah kado pada tian, “tadi aku belum sempet ngasi tian kado.” Lanjutnya. .
Tian menerima kado itu tanpa senyum, sulit baginya untuk tersenyum, hatinya masih terasa sakit.
febri berdiri dan pulang, memtuskan lebih baik ia mencoba membujuk tian besok.














Sepuluh..

Tian menyerah, matanya begitu lelah untuk terbuka, dan ia juga tak berniat untuk sekolah, dan bertemu dengan krisna. Krisna, bahkan menyebut namanya membuat jantung tian berdegup lebih lambat. Rasanya hatinya kelu dan dadanya begitu sesak.
Tian tidak tau jam berapa ia tidur semalam, yang ia tau hanyalah perasaannya begitu hancur, tian tidak bisa memutuskan mana yang lebih di bencinya, krisna yang hanya memanfaatkannya atau indi yang menghianatinya. Ia memang baru mengenal krisna, jadi tian tidak begitu merasakan hatinya yang patah, ia hanya begitu saja membenci krisna. Tapi indi kakaknya, ia mengenal indi seumur hidupnya, dan indi berbohong padanya. Ia menghela napas, dan menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.

Indi memandang kamar tian, berharap tian keluar. Namun tak ada tanda- tanda ia akan sekolah. Inndi tidak yakin apakah ia berani mengetuk pintu itu, apakah ia berani melihat kekecewaan tian dan kemarahannya. Indi hanya berdiri disana, menatap kosong pintu itu.
Orang tuanya menyambut indi dengan senyum tipis dan menatap putri mereka, minta penjelasan. Namun indi yang begitu malas untuk sarapan, mencium tangan ayah dan ibunya dan segera menuju mobilnya, membuat ayahnya sedikit menjerit memanggil nya.
“indii, tunggu dulu!”
Indi berbalik, dan mendapati orang tuanya mengejarnya.
“sekarang jelasin semuanya! Sejak semalam papa sama mama kebingungan! Ada apa sih? Papa gak suka anak2  papa berantem!!”
“semuanya karena aku pa” indi berkata lemah, ia berbalik dan pergi.




“gimana?” febri menghampiri indi, di taman.
“so bad” kata indi mengerti apa yang di maksud febri. Tadinya ia berkata pada orangtuanya, kejadian ini karna kesalahan krisna, namun indi sadar, ini semua jelas-jelas salahnya. Indilah yang egois, dia yang begitu maruk dan serakah. Indi menghembuskan napas kesal. Marah pada dirinya sendiri.
Febri terdiam, menggenggam tangan indi, berharap dapat meredakan apapun perasaan indi saat ini.


Indi memasuki rumah dengan perasaan takut, takut bertemu dengan tian.
“bi, tian mana?” indi bertanya cemas,
“lagi berenang non” kata bi ana.
“ohhh” tian menuju kamarnya, namun di tengah perjalanan ia bertemu dengan tian. Jantungnya serasa berhenti.
Tapi bahkan melihat indipun tian enggan, ia melewati indi seakan indi hanyalah sebuah patung. Tian bertanya pada bi ana dengan suara nyaring janggal “bi, pizza aku mana?”
Indi berlari memasuki kamarnya. Menangis.

“feb, gue gak tau gimana caranya baikan ama tian!” kata indi ketika sorenya febri mengunjungi indi.
“gue belon sempet ngomong ama dia,”kata febri prihatin.
“gue…” kata-kata indi terpotong karena tian berjalan kea rah mereka.
Ketika melewati kedua orang yang tengah duduk di teras itu, tian berpura-pura dua orang itu adalah patung, dan ketika febri bertanya    “mo kemana ian?” tian bahkan tak berpaling. Dan sedikit berlari menuju jalan raya.
“lo liat? Dia gak nganggep gue ada feb!!!” bulir airmata mulai jatuh.
febri merangkul bahu indi, menenangkannya. Febri tau, hati indi begitu perih.
“gue pengen dia marahin gw feb, maki-maki gue, itu lebih baik daripada di ngediamin gue kaya’ gini!!” febri mengerti, tian memang selalu menumpahkan amarahnya, jika dia kesal pada seseorang, dia selalu mengeluarkan kekesalannya itu pada orang yang membuatnya merasa demikian, namun sekarang febri merasa bahwa tian benar2 tak berniat mema’afkan indi.
“feb, anterin gw ke pantai” indi tiba-tiba berdiri. Febri lalu mengeluarkan tigernya, dan mereka meluncur kearah pantai.


Langit senja itu seakan mengejek indi yang menangis, menatap kosong warna biru yang terhampar di depannya. Dia selalu ke tempat ini jika mempunyai masalah, dan setelah memandang langit biru senada dengan lautnya indi merasa amat lega.
Febri memeperhatikan wajah indi yang begitu pucat, dan meremas tangannya.
“loe tau feb? semalem gue mikir, seandainya gue gak pernah ngebenci krisna, seandainya gue gak ngebiarin krisna di ambil orang, gue yakin semuanya gak bakalan jadi kaya’ gini. Gw kehilangan 2 orang yang begitu berharga buat gw, tian dan krisna. Meskipun gw tau gw gak seharusnya mikirin cowo’ itu lagi ketika gw berantem ma adek gw karena dia, kenyataannya gw sayang sama dia feb, dan gw emang gak bisa mgelupain dia.” Suara indi teasa hampa.
Febri mematung, degup jantungnya begitu lemah, indi… begitu cintanya kah indi terhadap laki-laki itu? Bahkan di saat dia menderita Karena laki-laki itu, ia masih sempat memikirkannya, berharap krisna menjadi belahan hatinya.
Langit telah menjadi hitam ketika akhirnya indi berdiri, dan mengajak febri pulang.
Setidaknya indi dapat tersenyum sewaktu mereka meninggalkan pantai itu.
“besok lo mo kemana? Ke taman mini??” febri menawarkan ketika mereka di dalam mobil.
“Gue rasa gue butuh istrahat, tian juga minggu biasanya latian pramuka. Kata indi.
“ya udah, terserah elo aja” kata febri.
“elo sendiri? Mau ngapaend?”indi bertanya balik
“paling di rumah, gue juga ge males keluar..”
“trus ngapaen lo ngajak gue jalan-jalan” Tanya indi bingung,
“well, kalo ama loe kemanapun gue gak akan males” kata febri membuatnya mendapat hadiah cubitan dari indi.
“iya, loe emang gak males, soalnya kalo pergi sama gue elo bisa makan gratis! Dan ngebuat gue bangkrut!” kata indi lagi
Keduanya kemudian tertawa. Tawa pertama yang di lihat febri sejak kemarin,.
Tiger itu tiba di depan rumah indi, indi turun dan berterimaksih pada febri, mengajaknya massuk yang di tolak dengan alasan ngantuk oleh febri.



“halo, tian?” suara febri
“iya mas, kenapa?”
“bisa ketemu sekarang? Mas tunggu di platinum ya? Kita makan siang bareng” kata febri,
“ok” jawab tian singkat.
“kenapa mas?” “ada yang pengen mas omongin, tapi mending kita makan dulu”
Keduanya terlibat obrolan seru, tak ada satupun yang menyinggung soal masalah tian dan indi.
Baru setelah makanan di piring mereka habis, febri membuka percakapan pokok.
“well, aku yakin kamu udah tau tujuan aku ian” kata febri mulai serius.
Wajah tian memerah, febri benar, ia tau maksud febri dan karenanya tian mengangguk perlahan.
“jadi, kamu belum bisa ma’afin indi?”
Tian menggeleng, dan dengan mata merah ia berkata “mas, gak mudah nerima kalo orang yang mas sayang suka sama orang lain, dan parahnya, kalo orang itu adalah kakak mas sendiri.
“tapi itu gak ngejelasin kenapa kamu musuhin indi kan dek? Mas gak nyalahin kamu kalo kamu mo berantem sama krisna, dia emang salah, tapi indi?”
Di lihatnya tian menunduk, dan melanjutkan “kamu Cuma mo nyari seseorang yang bisa kamu salahinm, karena kamu gak puas nyalahin krisna aja, tapi kamu tau ian, itu ngelukain perasaannya indi.”
“mas emang selalu mikirin perasaannya dia kan” tian berbisik.
“mas tau perasaan kamu!! Dan mas juga ngerti kalo kamu sakit hati!” kata febri berang, “dengerin mas!!! Indi ngorbanin perasaannya buat kamu, adeknya, tian! Mas sebenarnya gak boleh cerita ini ke kamu, tapi biar kamu tau, indi juga suka sama krisna!! Dan mereka saling jatuh cinta, jauh sebelum kamu pacaran ma krisna!” febri berhenti untuk melihat reaksi tian. Namun tian hanya menunduk, febri yakin tian tau tentang hal ini. Jadi dia melanjutkan “indi tau kamu juga suka sama krisna, jadi dia berusaha ngelupain krisna, dan itu bukan hal yang mudah tian! Indi nyembunyiin perasaannya, karna gak mau kamu terluka. Dan kamu ngebalesnya dengan cara yang begitu buruk tian! Mas gak nyalahin kamu, tapi tolong, mikir gimana kalo kamu jadi indi, nahan perasaan kamu tiap kali ngeliat krisna bermesraan dengan adiknya! Mas yakin kamu bakal mikir seratus kali untuk nampar indi” febri berhenti, meminum sirupnya.
Tian tak mengeluarkan satu pun kata, hanya isakan yang terdengar.
Mereka berdua bungkam, febri menunggu tian membuka mlut, dan setelah lama menunggu tian mengangkat wajahnya “aku sayang krisna mas, dan gak akan mudah buat aku ngerelain dia! Indi juga ngeboongin aku, kenapa dia gak bilang sama aku kalo dia suka sama krisna dari dulu?”
“kamu tau? Apa yang kamu rasain ini adalah yang indi rasain, kamu bahkan gak mau ngelepas krisna, tapi indi? indi ngebiarin cowo yang dia sayang buat kamu ian. Dia bukannya bohong, dia gak mau berebut sama kamu, dia mau ngelepas krisna demi kamu” Febri menatap mata tian.
“Kenapa dia harus suka sama krisna mas!! Kenapa!!!” tian berteriak histeris. Membuat beberapa orang yang duduk di sekitar mereka memandang curiga pada febri.
“denger!! Kalo di suru milih, indi gak bakalan suka sama orang yang sama tian! Tapi, gak ada yang bisa nyegah perasaan yang namanya cinta! Gak ada!! Dan satu hal, ketika perasaan itu datang sama kamu, gak ada yang bisa kamu lakuin untuk ngebuang perasaan itu ian! Dan mas bangga sama indi, karena dia udah berhasil ngejaga perasaannya biar gak meledak!”
“mas, mas tu gak tau gimana perasaan aku!! Sakit mas, sakiiit banget!! Aku gak terima kalo ternyata krisna pacaran ma aku karena indi, ngerelain dia buat indi! gak mas!!”
“jangan ngajarin aku tentang perasaan ian” kata febri keras
“tapi kenyataannya! Mas febri gak punya seseorang yang mas relain buat orang lain, Mas selalu ngedapatin apapun yang mas mau!” suara tian meninggi.
Febri terdiam, dan berkata lemah,
“orang yang tau perasaan kamu sekarang, adalah mas, ian” di lihatnya wajah tian tak mengerti, tian baru membuka mulut untuk membantah ketika febri melanjutkan “mas suka sama indi!”
Tian ternganga, kaget, ia seperti di sihir menjadi batu, baru beberapa menit kemudian tian mampu berbicara lagi “apa!?” adalah kata pertama tian.
“mas minta kamu janji, gak akan ngebocorin rahasian ini ian!” tian mengangguk
Tian menunggu cerita selengkapnya,
“mas suka sama dia dari dulu banget, bukan suka, bukan. Mas mencintai indi, mungkin sejak mas ketemu pertama kali sama dia…”
“trus kenapa mas gak bilang?” tian memotong,
“alasan sama yang selalu di katakan orang, gak pengen ngerusak persahabatan” lagi-lagi ian baru membuka mulut ketika febri melanjutkan tak sabar “posisi mas di hati indi Cuma sahabat, gak lebih tian. Dan mas cukup seneng selalu ada di dekat dia. Mas gak pernah nemuin cowo’ yang berani ngenggangu —maksud mas—, yang pacaran ma dia, kkarena tiap cowo yang nembak indi, selalu di tolak. Itu ngebuat mas seneng ian, karena artinya mas punya kesempatan ngelindungin indi lebih lama. Tapi semuanya berubah waktu dia kenal krisna, untuk pertama kali dalam hidupnya indi jatuh cinta ian, dan bukan sama mas, mas ngerasa seperti langit jatuh nimpa mas, indi yang selalu mas puja, yang ngebuat mas bahagia, jatuh cinta sama orang lain” febri menatap mata tian yang basah, “jadi jangan ngajarin mas soal kesakitan hati tian! Kamu baru kenal sama krisna, belon sampe setaun kan? Kamu bisa bayangin mas yang nyimpen perasaan lebih dari 7 tahun? Mas udah gak bisa ngerasain sakit ian, Karena hati mas udah terlanjur terkoyak !!” febri tertunduk, lega rasanya menceritakan semua kisahnya. Selama ini ia selalu memendam perasaan ini.
“aku…” tian ingin menyampaikan rasa simpatinya, namun yang keluar hanya satu kata.
“jadi tolong ian, be strong! It can help you! Indi menderita kamu mushin kaya’ gini, dia nangis terus, dia sayang kamu tian!” febri kemudian berdiri, dan menarik lengan tian. “ikut aku”
Setelah membayar makanna yang mereka makan, mereka keluar dari platinum kafe dan meluncur menuju jalan thamrin.
“kita mo kemana mas?” tian berteriak, karena suara angin menderu begitu keras.
Tiger itu melambat di halaman rumah yang cukup besar. Membuat tian menjerit tertahan. Krisna home’s.
febri mengetuk pintu, dan seorang gadis keluar untuk memepersilahkan mereka masuk.
“krisna ada kan?” Tanya febri yang di jawab dengan anggukan.
Tak begitu lama mereka menunggu, krisna datang dengan wajah kebingungan.
“gue langsung aja” kata febri ketika krisna duduk. “sekarang gue pengen kalian ngomong baik-baik! Tian plis, kali ini aja kamu lupain bentar masalah di ultah kemaren! Dan elo krisna! Gue mau elo ngomong dari hati loe yang sejujurnya tentang perasaan lo!!” kata febri lagi.

Tian dan krisna tertunduk, tak ada yang membuka mulut. Dan setelah hampir 15 menit hening, krisna brkata “tian, gue tau elo pasti ngutuk gue! Gue minta ma;af karena udah manfaatin perasaan elo! Gue gak bermaksud nyakitin elo, waktu itu gue bingung tian…” krisna memandang tian, melihat tak ada reaksi apapun, ia melanjutkan “gue sayang banget sama indi, tapi sejak beberapa bulan lalu, dia ngejauhin gue karena alasan yang baru gue tau kemarin! Gue pikir, kalo gue deketin dia lewat elo, gue bisa ngebuat semuanya jadi normal. Tapi gue salah besar, gue malah ngebuat ini jadi tambah rumit.  Gue nyesel tian! Ma’afin gue!” suara krisna benar-benar lemah.
Tian mengangkat wajahnya, “loe tau gimana sakitnya perasaan gue?” katanya dengan penuh amarah.
“gue tau ian, gue tau karena gue juga ngerasain hal yang sama kaya elo!”
“maksudnya?” tian sedikit kebingungan.
“gue tau gimana kondisi hati loe tian! Hati gue juga gitu, tiap kali gue ngeliat indi bareng dia—krisna menunjuk febri—gue sakit!”
“kenapa elo gak nyoba untuk bilang semuanya sama indi!” suara febri mulai terdengar marah. “kalo elo suka sama indi, jangan jadi pengecut kaya’ gini!”
“gue…” krisna terdiam.
“kalian tau? Karena elo indi hampir ngelakuin hal konyol! Kamu ingat ian? Hari dimana aku kesetanan nyari indi? hari pertama kamu jadian sama krisna!” emosi benar-benar merasuki febri kini.
Tian mengangguk perlahan dan febri melanjutkan “aku langsung ngerti waktu kamu cerita kamu pacaran ama krisna tian! Aku ke tempat indi biasanya pergi kalo dia lagi seneng, marah kecewa, stress! Dan aku nemuin dia di mulut jurang, begitu dekat sampai-sampai angin mungkin akan mendorongnya ke bawah.  Aku negbentak dia, aku marah2 sama dia! Dan setelahnya dia nangis, tangisan pertama yang ngebuat dia begitu menderita! Semuanya karena kalian!” suara febri meninggi.
Tian mendekap mulutnya dengan tangan, sedang wajah krisna tak berekspresi yang terlihat hanya warna putih ke abuan.
“indi bener-bener sakit! 100 kali lebih sakit dari pada kalian berdua! Krisna cinta pertamanya dan tian adik kesayangannya, bisa kalian bayangkan dilema apa yang merasuki indi?” suara febri pecah.
Hening, tak satupun dari mereka kemudian berbicara.

“kita pulang sekarang! Aku rasa aku punya utang yang harus di bayar ke indi” tian menangis dan berjalan menuju pintu.
“aku ikut” kata krisna.
Dan ketiganya pergi menuju rumah indi.
sore itu begitu indah, langit tak berawan dan cuaca Jakarta pun sedikit berangin, indi termenung di pinggir kolam, memandang wajahnya yang terpantul di air.
“indiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii”
Suara tian begitu keras terdengar, membuat indi terlonjak kaget, dan belum sempat ia meredakan kekagetannya, tian berlari menerjangnya, menariknya dalam pelukan.
“ma’afin gue… hiks… gue udah jahat ma elo..hiks” tian terisak dalam pelukan, wajhnya memerah.
Indi yang masih di liputi shok berat memandang heran ke dua cwo’ yang bergegas mendatangi mereka.
Tian melepaskan pelukannya, menatap wajah kakaknya dan bergumaam “gue ikhlas apapun yang terjadi ma elo dan krisna” membuat mata indimembulat.
“gue minta ma’af udah bersikap egois” lanjut tian, indi semakin tercengang.
“elo…elo…” indi terbata-bata.
“sekarang..” tian menarik tangan kakaknya mendekat ke arah krisna “kalian resmi’in aja” lanjutnya setelah menyatukan kedua tangan milik krisna dan indi membuat keduanya tersipu malu.
Krisna menarik indi dalam pelukannya, tak menyadari bahwa laki-laki di sampingnya membeku.


“apa yang ngebuat elo ma’afin gue ian?” Tanya indi ketika malam itu mereka beranjak tidur.
“ma’afin lo? Gak, ngapaen gue ma’afin loe? Kalo dari awal elo sama sekali gak salah.” Kata tian.
“tapi…”
“gue gak berhak misahin dua insan yang saling mencintai in” kata tian lagi, dan pergi menuju kamarnya sambil menguap.


Sebelas..

Minggu itu adalah minggu terindah dalam hidup indi, akhirnya ia dapat merasakan kebahagiaan dalam beberapa bulan terakhir ini. Rasanya sulit di percaya ketika ia berada di dalam pelukan krisna ketika mereka mencoba tornado, salah satu wahana terseram di dufan, hari sabtu ketika indi berkata bosan di rumah.
“…dan dia meluk gue waktu gue teriak ketakutan” indi bercerita dengan semangat 45 pada febri. Ketika sore itu mereka duduk di depan teras. “gue ketemu sama ines dan tira, mereka kaget ngeliat gue jalan bareng krisna, berondong gitu lho.. tapi what ever, gue gak peduli!” lanjutnya.
Febri mendengarkan dengan hati teriris. Namun mencoba untuk bertahan ia bertanya “besok minggu, kita ke water boom yuk?”
Namun indi berkata “hah? Jangan besok, Minggu depan aja ya, besok gue mau ke bandung, ngunjungin tantenya krisna. Loe ikut aja…” ajak indi antusias. Namun febri menolak, dan dengan goyah ia bangkit, dan mohon pamit.


Febri melemparkan tasnya di tempat tidur, dan memandang foto indi di samping tempat tidurnya.
Ia kemudian terduduk lemas di kursi belajarnya. Sejak hari itu, hari dimana indi dan krisna benar-benar menjadi sepasang kekasih, febri sadar dimana sebenarnya ia berada. Satu minggu lebih ia menghitung, pertemuannya dengan indi yang begitu singkat, mereka kini jarang berdua, karena selalu ada krisna, dan keberadaan krisna tersebut membuat febri seakan berada di dunia orang lain.
Febri menghela napas berat, apakah ini saatnya dia pergi? Apakah ini saat untuk menjauh? Ya, indi tak membutuhkannya lagi, ia telah menemukan krisna, laki-laki yang selalu ada untuknya, jadi untuk apa febri di sini??
Ia meraih telepon yang terletak tak jauh darinya, menekan nomor yang ada di agendanya dan ketika suara di seberang menjawab ‘hello’ ia tertegun. Febri tak yakin apa ini baik. Namun ketika sekali lagi suara itu berkata “hello” febri berkata gugup “he…hello… may I speak to… Mr.handoyo?”
 “sure, who is calling please?” suara wanita itu lagi.       
 “I’m his son, febrio! Kata febri. Dan wanita itu terpekik kaget, “ow sorry, I will tell him, wait a moment please!”
Tak berapa lama, suara yang begitu di kenalnya membuat febri bergidik, “hello, febri? What happened? Tumben kamu nelpon?”
“pa, papa bilang pengen aku sekolah di paris khan?” kata febri.
“ya,” jawab papanya antusias, “do you want to  that?” dan febri menjawab yes.
Terdengar suara senang dari seberang, “aku mau berangkat besok!” kata febri lagi.
“wwhaat? Besok? Kenapa mendadak??” papanya kaget,
“well, papa bisa atur itu kan??” febri ragu-ragu,
“of course! Papa suru anak buah papa pesankan sore ini juga. Kamu tinggal sama madame jones, dia temen baik papa dan mama! Dia orang yang ramah!”suara papanya kentara sekali puas. “nanti biar papa suru orang untuk ngurus kepindahan kamu, sura-surat yang kamu butuhkan dan semua keperluanmu biar dia yang urus. Paspor dan visa kamu juga sudah beres”
Dan febri mematikan telepon itu, perasannya campur aduk, namun sakit adalah yang mendominasi.
Malam mulai beranjak turun,  gelap dan dingin, sama seperti hati febri, papanya baru menelpon dari London, ia akan berangkat besok pagi pukul 9 yang artinya ia takkan bertemu dengan indi, karena indi ke bandung pagi sekitar pukul 8. ini membuat perutnya melilit, dan kepalanya terasa pening.
Ia mencoba berbaring, seluruh pakain dan perangkatnya telah di bereskan oleh pamannya. Namun hatinya gelisah, dan ia tak tahan lagi. febri berlari mengeluarkan corolla dari garasi dan dengan kecepatan 100km ia mengemudi menuju rumah indi.
Mobil itu berhenti tepat di depan gerbang, jam di arloji febri menunjuk angka 8kurang, ia takut jika indi keluar bersama febri mengingat itu malam minggu. Dan lega ketika mendapati indi bersama tian menonton acara tivi di ruang keluarga bersama ibu mereka.
Indi sedikit kaget melihat krisna, karena baru tadi sore ia datang.
Namun febri mengajak tian untuk ngobrol sebentar, setelah beramah tamah dengan ibunya dan indi.
Mereka keluar dengan pandangan curiga indi yang di abaikan oleh febri.
“da apa mas?” Tanya tian penasaran ketika mereka duduk di kolam renang, yang agak jauh dari ruang keluarga.
“ian, kamu bisa jaga rahasia kan?” kata febri berat.
Tian mengangguk bingun, namun tak berkata apapun.
“kamu bisa khan jagain indi buat aku?” kata febri membuat tian semakin bingung. “aku tau dulu aku pernah bilang, kalo aku kuat dan berharap kamu niruin ketegaran aku…” febri mulai menjelaskan, tian mencoba mengerti maksud dari percakapan ini.
“tapi aku rasa sekarang aku benar-benar gak tahan ian, aku rasa cukup!” febri menarik napas dalam, dan berbisik amat perlahan “besok aku ke prancis” membuat tian tersentak kaget, ia memandang febri, mencari adanya sinar lelucuan, namun mata itu hanya memperlihatkan kesedihan yang mendalam.
“aku tau ini bakal  sulit, tapi akan lebih sulit kalo aku di sini, indi udah nemuin orang yang bisa nemenin dia, dan tempat aku udah tergeser ian, aku gak bisa mempertahankan tempat itu, dan mutusin buat ngelepasnya. Aku bakal lanjutin kuliahku di prancis, meskipun aku gak terlalu nguasai bahasanya, tapi sedikit banyak aku bisa ngerti. Aku nyerah ian, aku bakal ngebiarin perasaan aku terpendam selamanya” febri melanjutkan dengan air mata yang mulai mengambang di pelupuk mata abu-abunya.
Tian paham maksud febri sekarang, dan meskipun ia marah pada laki-laki yang dulunya pernah menegarkannya ini, mau tak mau tian melihat bahwa ekspresi dan sorot mata febri menyiratkan sesuatu yang begitu di pahami oleh tian.
“tapi mas, posisi mas di hati indi gak akan pernah dapat di gantikan, mas tau pasti dia akan menderita kalo di tinggal mas, dia sayang mas!” tian menahan emosinya demi melihat airmata yang akhirnya jatuh di wajah febri.
“dia punya krisna, dan mas yakin krisna bakal ngehibur dia” kata febri
“tapi….”
“tian plis, mas takut, takut kalo perasaan mas meluap dan ngancurin semuanya! Mas gak kuat lagi tian!! Belakangan ini mas nyoba nerima kalo indi udah jadi milik krisna, tapi gak berhasil! Mas sakit tian!” suara febri bergetar.
“aku…aku…” tian tak tau bagaimana mengungkapkan keingananya.
“kamu janji bakal ngejaga indi buat aku? Jangan biarin dia nangis ya…” kata febri.
Tian tersenyum kecut “gak mungkin dia gak nangis kalo tau mas ninggalin dia!”
“mas tau, tapi malam ini mas pengen ngabisin waktu sama indi.” kata febri lagi.

Dan mereka menemui indi yang tengah berbaring di sofa ruang tamu memegang majalah.

“kalian ngomongin apa sih sampe gak boleh di denger” Tanya indi ketika melihat febri dan tian datang.
“ada deh, mo tau aja lu!” kata tian menutupi matanya yang basah.
“in, kita duduk di taman belakang yuk, ada yang gue pengen tanya’in ke elo” kata febri ketika tian menuju kamarnya.
Indi bangun dan mengikuti febri yang melangkah kearah kolam renang.

Febri duduk di rumput jepang yang di tanam oleh tian dan indi, ketika mereka kecil. Indi mengikutinya dan mendongak menatap langit berbintang, indah.
“loe tau? Katanya orang yang ninggalin kita tu bakal jadi bintang. Nyokap yang bilang.” Kata febri ikut mendongak.
Indi memandang wajah febri, ada air mata disana.
“gue suka bintang, rasanya indah banget, berkilauan di langit yang gelap” kata indi.
“hmm…”

“feb, loe gak pernah suka ma cewe’ ya??” kata indi tiba-tiba. Membuat febri tersentak.
“tumben nanya gitu?”
“iya, kemaren gue ketemu susan, dia nanya elo dah punya cewe’ ato belon, gue jawab gak pernah punya” kata indi terkikik. “setelah gue pikir-pikir, emang bener, gue gak pernah denger elo ngomongin cewe’, padahal elo perfect banget. Jangan-jangan lo suka sama cowo’ ya?” indi bertanya curiga.
“nah itu elo tau” kata febri acuh.
Wajah indi mengeras, jawaban febri benar-benar tak diduga. Indi ternganga kaget. “elo…elo… ggg...ga….gay??”
Febri mengangguk, Dan indi terpekik. 
“apa!!!!????”
“tapi loe jangan bilang siapa-siapa ya” kata febri serius.
Jantung indi berdetak seratus kali lebih cepat! Wajahmya panas. Sahabatnya, sahabat karibnya ternyata mempunyai kelainan, dan dia tidak sadar itu.
“ini Cuma antara gue dan elo! Gue gak pernah tertarik sama cewek!”
Indi speechless
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAH” suara tawa febri membuat indi terlonjak kaget.
Febri tak berhenti tertawa pun ketika tian mengeluarkan kepalanya dari jendela, aneh, padahal baru tadi febri menangis dan kini ia tertawa seakan beban berat telah meninggalkannya.
“hahaha… elo…haha…elo…hahaha……” febri tak mampu menghentikan tawanya. Indi mengerjap bingung.
Febri mulai berhenti, menarik napas dalam-dalam dan berkata   “jadi, elo percaya, hihihi… gue gay?”
“apa?” indi berkata bingung, dan ketika melihat wajah febri merah menahan tawa dia sadar. “elo!!!! Elo ngeboongin gue!!! Gila lo ya!! Gue jantungan tau!!! stress lo!!!”
Hahahaha febri memulai, dan indi pun ikut tertawa.
Mereka tertawa lama sekali, hingga indi berkata “udah!!! udah feb!! perut gue sakit nih”
Dan febri mulai berhenti.
“gila ya, masa cowok tulen kaya gue lo kira gay?” kata febri mulai serius, meskipun wajahnya masih terlihat geli.
“abis, elo tu serius banget. Jadi artis cocok lu”
“emang! Banyak yang pengen nawarin, tapi pas gue bilang, gajinya harus di atas 100jete and makanan yang di kasi harus makanan luar negeri. Semua produser pada kabur”
Dan mereka mulai tertawa lagi.
“oke enough! Sekarang gue serius! keNapa feb?” Tanya indi ketika mereka berhenti tertawa.
Febri menarik napas. Dan berkata lemah “gue pernah suka sama satu cewek dan gue rasa selamanya gue bakal suka sama tu cewek”
Indi mendengarkan dengan serius, ia sedikit kaget mengetahui bahwa febri bisa berkata seperti ini.
“gue suka sama dia sejak pertama gue ketemu dia! Gue ingat banget gimana dia nyamperin gue, ngajak gue ngobrol. Tapi gue rasa dia gak pernah tau isi hati gue” kata febri serius.
“kenapa lo gak bilang?”
“gue terlalu takut. Lo tau gimana gue kan ndi, gue takut kalo gue ngomong, dia bakal ngejauhin gue! Dia Cuma nganggep gue temen. Gak lebih” febri berharap indi mengerti. Namun indi hanya terlihat kebingungan.
“siapa…”
“jangan Tanya siapa cewek itu in, suatu saat loe bakal tau!” potong febri.
“hmm, gue kenal?”
Febri mengangguk, membuat indi makin penasaran.

Tian membeku di belakang pintu! Ingin sekali ia menghajar indi, bagaimana mungkin indi tidak tau maksud febri! Semua orang yang mendengar cerita febri juga pasti mengerti! Cewek itu indi!

“gue pengen tau feb!” kata indi keras kepala.
Febri menggeleng, “gue janji, ntar lo pasti tau”
“kapan???” Tanya indi jengkel.
“suatu saat, yang gue janji pasti gue kasi tau!”
Mereka terdiam.

“ndi, loe janji gak akan ngelupain gue kan!?” kata febri ketika mereka berbaring menatap bintang.
“maksud lo?”
“well, kalo misalnya gue pergi, dan berubah jadi bintang…” febri tak menyelesaikan omongannya karena indi memtong,
“elo gak akan pergi kemana-mana!”
“gue bilang misalnya!”
“what ever, yang jelas, gue gak akan ngebiarin loe ninggalin gue!” kata indi kukuh.
Febri terdiam, hatinya teramat perih. Andai indi dapat mendengar teriakan di hati febri sekarang.
“elo gak akan kemana-mana!” indi menggumam.
Febri berpaling, menghindari mata indi.
“gue pengen lo tau in, gue sayang banget ma elo!”
“gue tau” kata indi cepat.
Febri kemudian memberikan beberapa lelucuon, membuat keduanya terkikik geli.
Febri tak mengungkit soal ‘pergi’ lagi, dan indi pun tak berniat melanjutkan.
Mereka tertawa keras sekali, membuat ibu indi keluar dan memarahi mereka, mengingatkan bahwa jarum jam telah menunjuk pukul 11 malam.
Indi dan febri terdiam ketika ibu indi mengomel, namun begitu di tinggal, keduanya kembali teratawa. Meskipun tak begitu keras.
Ketika akhirnya, indi menguap, febri pamit.
“udah malam ya? Gue balik deh kalo gitu.”
Indi mengantar febri sampai ke depan, febri menuju tigernya yang di parkir di halaman, namun ia berbalik dan memeluk indi.
Indi kaget.
“biarin gue kayak gini bentar aja in” gumam febri.
Tian  datang dan melihat kejadian itu, air matanya luruh, begitu cinta kah febri pada indi??
Febri melepas pelukannya, matanya basah.
“lo kenapa?” kata indi curiga.
“gue takut gak akan bisa meluk elo lagi” kata febri dingin
“maksud lo?” indi kebingungan.
“gak” kata febri tanpa memandang wajah indi, “gue balik” dan ia bergegas memacu motornya, namun tian mengejarnya.
“mas…” katanya setelah ia mendekat. “jam berapa berangkat?” Tanya tian pelan, takut indi mendengar.
“9, kamu gak perlu nganter!” kata febri singkat
“mas yakin gak mo bilang ke indi? aku tau dia pasti lebih sedih waktu pulang dari bandung dan gak nemuin mas.” Tian berharap cemas,
“aku takut dia nyegah aku lagi ian, kamu tau aku gak tahan ngeliat dia nangis, sama kaya’ dulu waktu aku mau ke jogja!”
“artinya mas bener-bener bakal pergi?” pupus sudah harapan tian melihat anggukan lemah febri.
Febri mengerling indi yang masih berdiri di pintu, “ mending kamu masuk deh, indi udah curiga! Ingat ya tian, jaga indi! jangan suka berantem! bye” krisna memeluk tian singkat dan meluncur menuju jalanan yang dingin. Perpisahan benar-benar membuat hatinya sakit.

“kenapa sih febri? Udah kayak mau mati besok aja?” kata indi bingung ketika mereka memasuki rumah.
Tian hanya terdiam.


Dua belas..
 “pokoknya loe gak boleh pergi!!!” suara tian menggema di ruang tamu.
“kenapa ian? Gue kan udah ngajak elo, tapi katanya elo mau latian pramuka hari ini” kata indi kebingungan.
“bukan itu!” tian mulai gusar. Waktu menunjukan pukul setengah 9 lewat. Indi telah berhasil menunda keberangkatan kakaknya dengan beribu cara yang akhirnya membuat indi kewalahan. Krisna yang menjemput indi sejak setengah jam lalu juga tak mampu membujuk tian untuk mengijinkan mereka pergi.
“lo gak boleh pergi ndi, plisss!” tian mulai menangis.
“tian lo kenapa sih? Oke gue gak akan kemana-mana!” indi menyerah melihat air mata di wajah adiknya. Membuat krisna sedikit kecewa.
“sekarang lo ikut gue ke bandara!” perintah tian akhirnya, hatinya begitu gundah, entah apakah dia berhasil mengejar pesawat febri atau tidak, tapi perbuatan bodoh jika ia tidak mengeceknya, siapa tau febri memutuskan tak jadi berangkat!
“bandara?” krisna dan indi kebingungan.
“cepetannnn!” indi berlari keluar, menarik lengan krisna dan menyeretnya menuju mobil.

Tian begitu gelisah di dalam mobil, ia bingung apakah baik memberi tau indi kenapa mereka harus ke bandara.
Sedangkan indi dan krisna yang melihat kegundahan tian, hanya saling berkomunikasi dalam diam, memikirkan kenapa tian begitu aneh,
Siapa yang pergi? Bandara apa maksudnya?? Pertanyaan2 seperti itu muncul di kedua benak krisna dan indi.
“kris!! Loe bisa nyetir lebih cepat gak sih!?” tian mulai panic melihat jarum jamnya menunjuk angka 9.
“sabar donk tian, ini juga udah cukup ngebut” kata indi menenangkan “emang kita mo ngapaen di bandara?”
“diem loe!” kata indi gusar.
Indi dan krisna saling pandang.

Sementara di bandara,  panggilan dari pengeras suar “pesawat menuju bandara charles de gaulle paris prancis akan segera berangkat mohon para penumpang segera menaiki pesawat”
Jantung febri berdetak lebih cepat, entah kenapa ia memandang ke belakang, berharap muncul sosok indi yang menangis memintanya untuk tinggal. Namun sedetik kemudian ia tersadar, indi pasti dalam perjalanan menuju bandung,
Febri melangkah menuju pesawat, setiap titian langkahnya terasa goyah, meyakini dirinya sendiri inilah yang terbaik. Hatinya terasa amat perih, dan matanya kembali basah, pamannya yang datang mengantarnya memeluk nya dan berkata untuk berhati-hati.
Febri menaiki tangga pesawat, dan untuk terakhir kalinya melihat kea rah pntu, namun tak ada sosok indi. dan febri menghilang di dalam pesawat.


Tian berlari menuju keberangkatan luar negeri, dan matanya liar mencari sosok febri, krisna dan indi di belakanganya kembali kebingungan melihat tian.
Tian bergegas menuju seorang resepsionis bandara, bertanya dengan nada begitu cepat “mba, pesawat tujuan paris udah berangkat??” dan wanita itu tersenyum sambil berkata “pesawatnya berangkat 15 menit yang lalu mba”
Dan tian melorot di lantai.
Indi memegang tian, dan bertanya cemas “tian kamu kenapa ?” pertanyaan itu sudah di tanyakan berkali-kali oleh indi.
tian menangis “mas febri…hiks…mas febri pergi…hiks”
dan kesadaran entah darimana menyerang indi. wajahnya kaku dan tubuhnya gemetar.
Ia mengerti, semuanya. Makna tingkah laku febri semalam, tujuan larangan tian. Kegundahan yang jarang di perlihatkan adiknya sejak tadi pagi dan alasan mereka ke bandara ini. Semuanya.
“mas febri ngelanjutin kuliahnya di paris ndi” tian ketakutan, ia tak berani melihat reaksi kakaknya.
Indi berdiri, dan mencari kursi terdekat. Krisna membantunya dan mendudukannya. Tubuh indi terasa amat ringan pikirannya terbang entah kemana.
“ndi…” tian menegurnya pelan,
“apa maksudnya? Dia pergi gitu aja? Ninggalin gue tanpa pamit? Dia marah sama gue?” ekspresi aneh muncul di wajah indi.
Ketiganya terdiam, tak ada lagi yang membuka suara.
“ndi, kita balik…” ajak tian perlahan, di lihatnya indi hanya mengangguk.
Dan mereka meluncur pulang dengan perasaan begitu tersiksa. Bahkan krisna mau tak mau menyadari suasana hati yang meliputi kekasihnya.

Tiba di rumah indi langsung menuju kamarnya. Ia tak berpaling atau mengucapkan sampai jumpa pada krisna. Tak ada yang mencegahnya karena tian telah menduga hal ini sebelumnya ia menceritakan alasan febri pada krisna.
“jadi? Febri mencintai indi? tapi kata indi??” ujar krisna sedikit terguncang,
“indi gak tau, dan gue gak tau samapai kapan gue nyembunyiin alasan ini.” Tian menghela napas “gue sebenarnya gak boleh certain masalah ini ke siapapun” lanjut tian.
“gue tau, sejak pertama gue ngeliat hubungan febri dan indi, gue yakin ada sesuatu di mata febri tiap dia mandang indi. mungkin indi nganggep sesuatu itu rasa sayang dari sahabatnya, tapi gue tau itu sesuatu yang lain. Dan sekarang gue yakin, sesuatu itu cinta.” Kata krisna dramatis. “dan indi gak punya perasaan apa2 ke febri? Itu yang ngebuat febri menghindar? Karena ternyata indi jatuh cinta ke gue?”.
Tian mengangguk “indi gak pernah yang namanya jatuh cinta, itu ngebuat mas febri seneng, dan punya alasan untuk tetap di samping indi, ngejagain indi. tapi sekarang—tian menahan napas—indi punya elo”
Keduanya terdiam.
“elo harus bisa ngejaga dia, itu perintah mas febri, jangan buat di nangis!” tian bergumam.
Krisna menatap tian, “selama gue masih bisa ada buat dia, selama itu juga gue bakal ngebuat di tersenyum.
Tiga belas..

 “ndi, udah sore, kita balik yuk” tian bertanya lembut ketika indi tengah menikmati semilir angin di pantai sore itu, dua bulan setelah kepergian febri.
“gue masih pengen disini” jawab indi tanpa membuka matanya yang terpejam erat.
Tian menyerah, dan duduk di samping indi lagi.
Semuanya berubah sejak kepergian febri, indi yang tak pernah berhenti untuk menangis, semua sifat indi yang dulu Lenyap tak berbekas.
Tian dan krisna berusaha kuat untuk menghadapi indi baru yang sangat tidak menyenangkan ini, keduanya selalu menuruti keinginan indi, tak pernah membiarkan indi kesepian atau sendiri.
Dan meskipun usaha mereka jauh dari kata berhasil, toh indi mau tak mau memberikan respon berupa senyum hambar yang di keluarkannya ketika tian tau krisna memberikan guyonan.
Sekarang indi mempunyai kebiasaan yang benar-benar membuat tian dan krisna kewalahan, seminggu sekali ia mengunjungi pantai dari pagi sampai kadang tengah malam. Berharap febri muncul.
Semua ini setelah bujukan dari tian, karena pada minggu-minggu pertama febri pergi, indi mengunjungi pantai hampir tiap hari, membuat krisna sedikit jengkel. Dan berkata keras pada indi bahwa perbuatannyasia-sia, membuat airmata segar mengucur deras dari matanya yang bengkak. Dan krisna harus berusaha seratus kali lebih keras untuk dapat mendiamkan banjir air mata itu.
Tian mendapat satu e-mail dari febri yang menanyakan kabar indi seminggu setelah ia berangkat, dan tian menceritakan dengan gamblang semua keadaan indi.
Sebagai gantinya e-mail itu adalah kabar terakhir yang di terima tian dari febri, karena setelah dua bulan, tak ada apapun yang memberitahukan keberadaan febri.



Mereka kemudian bergegas pulang, melihat awan hitam yang menggantung di langit. Dan ketika mereka tiba di rumah, hujan benar-benar turun. Hujan pertama di bulan oktober.
Indi kembali menangis,

“indi, awas ujan!!” teriak laki-laki itu.
“hahahaha…..hahaha….” indi tertawa melihat kegusaran di wajah orang itu. “ayo dong, masa takut ujan” dan indi mencipratkan air hujan yang di tampungnya menggunakan tangannya ke tubuh anak laki-laki yang tengah berteduh.
“aku bukan takut, tapi ini hujan pertama, ntar sakit! Kesini sekarang!” katanya mulai kesal.
“gakkk, weeeee” indi meleletkan lidahnya, dan bermain lompat-lompat di air hujan yang mengguyur smp mereka.
“indddiiiiiiiii” teriak febri ketika cipratan air mulai mengenai dirinya lagi.
Hahahahahahahahaha…..

“Tuh kan kamu sakit! Aku bilang apa” anak laki-laki itu terlihat kesal. Ia berjalan mondar mandir di kamar indi.
“aku Cuma demam” kata indi manyun
“Cuma demam?? Kamu tau gak kalo demam itu awal semua penyakit, kamu bisa pilek berkepanjangan! Bisa batuk batuk gak berhenti, badan kamu bakalan lemes dan kamu Cuma bisa tidur!”
“aduh berisik banget sih” gumam indi
“makanya kamu kalo gak mau aku berisik, dengerin kata-kataku!”
“ia, ia, lain kali aku gak akan mandi hujan lagi” jawab indi kesal.
“janji ya” kata si anak laki-laki
Nindi hanya mengangguk, ia menatap hujan di luar jendelanya dengan tidak rela. Indi suka sekali hujan.



 “ndi,” tian berkata pelan.
Malam itu hujan belum berhenti,dan indi duduk di teras depan. Mengamati air hujan.
“sampai kapan elo mau kaya’ gini?”
Indi terdiam, air mata mulai membasahi matanya lagi.
Tian memeluk kakanya dan membelai rambut panjang itu perlahan, tian tahu, kepergian febri meninggalkan sejuta kepedihan dalam hati indi, indi tak pernah begitu dekat dengan orang, temannya pun tak terlalu mengenal dirinya, meskipun indi adalah orang yang ramah dan supel serta mudah beradaptasi dengan lingkungan, namun indi sulit percaya dengan orang, dan ia hanya menjalin pertemanan, tidak lebih. Dan febri adalah satu-satunya orang yang sangat dekat dengannya selain keluarga tentu.
Tian kemudian berkata lembut “gue tau loe kangen sama dia, tapi elo harus maju, buktiin kalo lo bisa lalui ini semua. Pasti itu yang pengen mas febri liat. Loe masih punya gue, mama, papa, dan krisna.”
Dan indi tenggelam dalam tangisan.















Empat belas..

4 tahun kemudian

Cinta adalah suatu keajaiban
Perasaan yang tak pernah dapat di tebak,
Tak pernah dapat di sadari
Namun ketika cinta itu hilang
Hanya akan ada kehampaan yang menemani


Awan menggantungkan setitik harapan di hati indi senja itu, entah telah berapa ratus kali ia mengunjungi tempat ini, namun tak pernah ia dapat tersenyum ketika meninggalkannya.
Bukankah pantai ini selalu bisa membuatnya bahagia? Kenapa kini ia malah merasa lebih sakit.
Empat tahun sudah laki-laki itu meninggalkannya. Dan tak ada tanda-tanda ia akan kembali.
Sesuatu meluncur turun dari matanya, ia heran kenapa air mata ini tak kunjung habis? Rasanya telah beton-ton air mata yang ia keluarkan selama 4 tahun belakangan.
Indi telah terbiasa melalui hari dengan air mata, ia telah meyakini diri untuk melupakan sosok gelap itu. Tapi setiap tempat yang ia datangi selalu memunculkan ingatan tentang orang itu. Dan keyakinan indi runtuh seketika,
Sampai ajal menjemput pun, ia tak akan bisa menghapus ingatannya tentang febri.
Febri….
Entah kesadaran dari mana, ia tau perasaannya pada laki-laki itu lebih dari sekedar sayang.
Perpisahan memang selalu dapat memberikan jawaban, dan begitu pula dengan jawaban yang dibutuhkan indi.
Tian memesan makan sianknya,  perutnya terasa begitu lapar, dan ia terpaksa bolos kuliah agar dapat makan.
Makanannya datang, namun sesuatu kembali mengusiknya. Tanpa sadar matanya mengenali seorang laki-laki yang juga tengah menikmati makan siang di restoran itu.
Tian menajamkan penglihatannya, tidak salah lagi. itu…itu… tian sedikit terguncang. Dan rasa laparnya menguap begitu saja.
Ia menghampiri laki-laki itu, dan berdiri di depannya, tepat di depan laki-laki itu.
“mas…”
Laki-laki itu mendongak, wajahnya tak dapat menyembunyikan kekagetannya.
“ttian??”
“mas febri!” tian meyakinkan diri.
Mereka saling merangkul selama beberapa saat.

“….jadi, indi dan krisna udah putus?” kata febri, ia kaget luar biasa. Ia pikir mereka bahkan telah menikah.
“mas, mas harus tau! Perasaan indi begitu terluka. Dia benar-benar berubah sekarang. Dia ngunjungi pantai tiap minggu selama 4 tahun belakangan, kadang lebih. Awalnya krisna yakin itu hanya karena indi ngerasa kehilangan mas, sahabat terkaribnya. Tapi setelah dua tahun indi gak berubah, krisna sadar, indi —tian memandang wajah febri—mencintai mas”
Seribu aliran listrik membuat febri mematung. Ia mencari mata tian, berharap ada kebohongan di sana. Namun yang ia lihat hanya mata basah.
“mas, aku tau ini mungkin terlalu skeptis, tapi it’s a real! Dia mungkin bisa nutupin perasaannya dari orang lain, tapi aku tau mas! Aku tau perasaannya indi masih terluka karena kepergian mas. Indi, beberapa tahun belakangan dia berusaha hidup normal, setelah perpisahan dengan krisna, dia mulai nata kehidupannya. Dan sedikit banyak dia berhasil, meskipun gak seratus persen. Tapi satu hal mas, indi benar-benar mencintai mas.” Kata tian panjang lebar.
Febri terdiam seribu bahasa. Dan tian pun tak melanjutkan. Keheningan merebak di antara mereka.
“indi lulus dari UI dan langsung di terima di salah satu perusahaan design terbesar di indo. Dia gak pernah ketemu sama krisna sejak perpisahan mereka. Krisna ngelepas indi mas, dan gak berusaha kembali kendati dia benar-benar mencintai indi. aku denger semua percakapannya sama tio, sehari sebelum dia mutusin hubungannya dengan indi. dan sekarang dia kuliah di bandung, kedokteran”  kata tian ketika hampir setengah jam mereka terdiam.
Febri mengangkat kepalanya dan bertanya dengan nada janggal “kamu kuliah dimana?”
Tian tau, pertanyaan ini jebakan, agar mereka tak membahas masalah indi ataupun krisna. “universitas trisakti, mas tau aku gak sepinter indi”.
Febri hanya membentuk huruf ‘o’ dengan mulutnya.
“mas gimana? Aku belum denger cerita tentang mas” kata tian setengah melirik arlojinya, jam 2 siang, dia harus pulang sebentar lagi.
“well, biasa-biasa aja” kata febri singkat, jelas dia tak berniat mengisahkan kehidupannya.
“mas…” tian meminta,
“mas lulus tahun lalu, dan nerusin bisnis papa mas, ..’’ belum sempat febri melanjutkan tian memotong garang
“dua tahun yang lalu? Trus kenapa mas pergi selama ini!?
Febri kelihatan serba salah, dan melanjutkan “kamu tau tujuan sebenarnya mas pergi kan ian?”
Tian kelihatan marah, “tapi mas sadar!? Mas udah bersikap egois!! Mas gak pernah sekalipun ngabarin aku, ngabarin indi, dan sekarang tiba-tiba mas disini. Trus sekarang kenapa mas datang!? indi udah mulai terbiasa hidup normal mas, dan akan jauh lebih baik buat dia kalo mas pergi selamanya!” suara tian meninggi.
Febri kembali salah tingkah, jelas ia tak ingin pertemuan pertamanya setelah 4 tahun di warnai kemarahan. Namun meski begitu ia sadar, kembali ke Negara ini, sama artinya dengan mencari pujaan hatinya.
“mas datang untuk urusan bisnis” febri berkata lemah.
Ekspresi tian melunak dan ia berkata “emang gak bisa di serahin ke orang lain!?” dengan suara cair.
Febri menggeleng, namun sedetik kemudian ia melanjutkan “mas pengen ketemu indi” membuat wajah tian kembali mengeras.
“gak, sebelum mas mutusin pilihan. Ketemu indi dan janji akan ngebahagiain dia, atau pergi jauh dari sini, dan ngebiarin indi hidup tanpa mas. Dan aku akan berpura-pura pertemuan ini gak pernah terjadi”. Tian mengambil tasnya, menyelipkan uang lima puluh ribu di meja dan meninggalkan febri.

Perjalanan pulang tian sangat tidak menyenangkan, percakapannya dengan febri masih teringat jelas. Ia mengemudi dengan pikiran kosong. Dan ketika melewati lampu merah tak sengaja ia menabrak escudo merah yang parkir di depannya.
Mobil itu berhenti, dan dengan ketakutan tian keluar dari mobilnya yang juga berhenti dan menghampiri laki-laki yang tengah memeriksa bodi mobilnya.
“mmaa…ma…af.. ss…saya ggak ssengaja” tian terbata-bata. Laki-laki itu berbalik menghadapi tian.
Dan keduanya terpekik.
Tian hampir saja pingsan, dan laki-laki itupun tak dapat menyembunyikan kekagetannya. 2 tahun tak bersua membuat mereka benar-benar merasa aneh.
“hhai… udd..da lama ggk ktemu” suara tian masih gugup.
Krisna tersenyum dan menjabat tangan tian. Mereka ngbrol sebentar dan tian segera pamit, mengingat jamnya menunjuk angka 3.

Tian benar-benar bingung dengan kejadian hari ini, ia memasuki rumah dengan keadaan linglung, tanpa ekspresi ia menyapa kakaknya yang menunggu di pintu depan.
“tiannnnnn!” indi akhirnya berteriak, melihat adiknya tanpa wajah bersalah masuk kedalam rumah. Indi melempar pandang marah pada tian yang berbalik.
“kamu ngelupain sesuatu!” kata indi marah.
Wajah tian kembali di dera kebingungan. Dan ketika tian melihat wajah penuh kejengkelan kakanya ia tau ia melewatkan satu hal.
“owh” kata tian bego dan melihat jam.
“lo stress hah? Gue seharusnya udah ada di supermarket dua jam yang lalu! Loe kemana aja sih!?” indi meledak
“kenapa lo gak pergi sendiri sih ndi?” kata tian letih.
“loe udah janji nganterin gue! Mobil gue di pake mama! Mobil papa masih di bengkel!” kata indi jengkel.
“iya! Bawel banget loe, kita pergi sekarang?” tian mengalah.






















Lima belas..

“…baik pak, tapi saya harap proposal ini dapat langsung di tanda tangani, karena saya harus segera melaporkan hasilnya pada pak Alam,”
“ok, saya mengerti, kamu boleh pergi. Oya indi, jangan lupa malam ini ada pertemuan dengan perusahaan sandi!”
Indi mengangguk.
“kamu tau mereka akan kedatangan ceo baru kan? Saya dengar dia baru datang dari luar negeri. Nanti kamu bisa beramah tamah dengan dia”
Indi hanya tersenyum dan berkata pelan “saya usahakan pak”
“ya ya, silahkan keluar” kata bosnya dengan mengibaskan tangan, ingin segera kembali tenggelam dalam pekerjaannya.

Hufffh…
“gak baik tau ngembusin napas kayak gitu” kata emi pada indi yang duduk di mejanya
“erni, ntar malam kamu datang?”
“gak lha, mana mungkin, acara itu Cuma buat the great people. Something like you banget!”
“aku males banget pergi masalahnya, pasti ngebosenin” kata indi seraya berjalan menuju mejanya.
“take it easy plend, btw kmu udah nyiapin kostum kan?”
“for what?”
“ya ampun indi… kamu ya, bener-bener, mana bisa kamu datang dengan stelan jins biasa! You need a gown ok?!” kata erni dengan mimic serius.
“I don”t like it!”
Erni tertawa, tau benar bahwa rekan kerjanya benci terhadap segala hal berbau formal.



“loe mau kemana si? rapi bener” tian heran melihat kakaknya memakai gaun indah yang di belikannya nyaris dua tahun lalu itu.
“biasa, urusan kerja, loe antarin gue yuk, males nyetir nih gue!”
“elo, gimana kalo gue gak ada? Bisa-bisa lo diem di rumah jadi kaya ayam dalam kandang!” kata tian keras.
Namun detik berikutnya tian sadar kata-katanya terlalu menusuk, karena indi tiba-tiba berhenti berjalan, dan menerawang kosong.
Tian kebingungan, namun ia segera menghampiri kakaknya yang mematung dan menggandeng tangan indi, membawanya menuju mobil.

Ferari itu sampai di halaman gedung pertemuan. Indi turun dengan wajah sedikit ceria.
“jam berapa di jemput?” Tanya tian
“10” kata indi singkat dan melangkah menuju ambang pintu.
“putrianindi anestisa, designer muda berbakat kita.” Sambut bos indi ketika indi masuk dalam gedung bernuansa putih itu.
Indi terjebak dalam obrolan para pengusaha yang sangat membosankan, tidak aneh, karena rasanya hanya dia wanita muda yang ada di sana, orang-orang yang hadir rata-rata berumur di atas 30 tahunan.

“baiklah, ladies and gentlemen, kita sambut, pengusaha muda yang memberikan modal terbesar dalam perusahaan ini, laki-laki sucses yang mewarisi kecerdasan serta ketampanan ayahnya, FEBRIO HANDOYO”
laki-laki itu kemudian muncul, dengan stelan jas hitam yang membuatnya terlihat luarbiasa.
Prankkkk….
Indi menjatuhkan gelas lemon tea yang di pegangnya, membuat pak radan, bosnya mendelik marah ke arahnya.
Namun indi tak peduli, mata dan telinganya pasti berbohong.
Tiap langkah pria itu seakan menjadi tusukan tajam yang menghunus tepat ke jantung indi, ia bahkan tak mampu bernapas, nadinya seakan berhenti mengalirkan darah. Kenangan-kenangan tiba-tiba muncul dalam kepalanya, namun ingatan itu seperti kaset rusak yang sangat sulit untuk kembali di perbaiki.
“febrio, what are you? Saya dengar anda akan segera menikah? Wah, wanita yang akan anda nikahi itu pasti beruntung sekali!”. Bos indi menjabat tangan febri, dan menarik febri dalam kelompok kecil itu.
Indi mematung, wajahnya sepucat tembok, entah kenapa udara di sekitarnya memadat, membuat indi ke sulitan menarik napas.
Siluet indi terlihat oleh febri yang segera sadar siapa wanita yang berdiri 60 meter darinya. Febri membeku, suara-suara yang mengajaknya mengobrol mulai tak terdengar. Hanya tatapan tajam indi yang kini dapat di tangkapnya.
Mereka saling menatap dalam diam sekitar 15 menit, sampai seorang wanita merangkul lengan febri, membisikan sesuaatu yang tak dapat di dengar indi.
Bisikan itu sepertinya membuat febri sadar, dan mengalihkan pandangannya.
Febri beranjak dari tempatnya berdiri, dan menuju ke meja yang telah di sediakan, indi mengikuti langkah febri dengan pandangannya.
Kaki indi terasa lumpuh, pulang, dia harus pulang. “pak, saya kurang enak badan, ijin pulang duluan pak” kata indi pada bosnya.
Laki-laki paruh baya itu menatap tajam, namun melihat wajah indi yang begitu pucat dia mengangguk, “perlu saya suruh orang mengantar kamu pulang?” dan indi menggeleng.
indi menyetop taxi yang ada, dan segera menutup kedua  matanya. Ia begitu lelah.









Indi menatap kosong laut tak berujung yang terhampar di depannya, kenangan memang takkan pernah sirna, pun ketika kita mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya.
Febri,
Desah napas indi mengalun mengikuti irama cinta dalam jiwanya. Indi telah terbiasa mengingat wajah febri dalam kepalanya, dan berusaha untuk tidak membuka lembaran foto yang ia punya. Mengandalkan ingatan dalam memorinya.
Tapi sekarang, tidak ini bukan mimpi. Indi berusaha meyakini dirinya sendiri. Wajah itu muncul tepat di hadapannya. 4 tahun, waktu yang tidak sebentar, bahkan bagi indi yang menyadari perasaan cintanya.
Dan febri kembali, menikah, mungkinkah ia kembali untuk menikah!? Dada indi terasa tertusuk jarum!
Indi menyesal, bahwa kesadaran febri pergi karena dirinya terlambat ia ketahui. Nindi begitu egois. Dan karna keegoisannya ia hidup dalam penyesalan. Indi selama ini berpura-pura bahagia. Berpura-pura semua baik-baik saja.
Ia tidak sanggup melihat tian menatapnya dengan pandangan itu. Ia merasa bersalah pada kedua orang tuanya yang selalu menghiburnya. Dan indi benci melihat mereka semua berjuang keras demi dirinya. Sedang dia, masih saja terpuruk.
Tahun demi tahun indi lalui, dan dia berhasil. Atau dia piker dia berhasil. Karna tidak sekalipun ia meminta tian memberitahunya dimana febri. Atau mencoba mencari tau dimana laki-laki itu sekarang. Ia hanya menunggu, entah apa yang ditunggunya.
Tapi saat ini, ketika laki-laki itu berdiri di hadapannya. Saat ia pikir ini adalah hadiah karena kesabarannya selama ini. Tiba-tiba kenyataan dalam bentuk yang paling parah.
Febri akan menikah, ia tidak kembali untuk indi. febri telah melupakannya. Febri telah berhasil melupakan indi. sedangkan indi, bahkan belum benar-benar mencoba untuk melupakan perasaannya pada febri. 


“ma’af pak, indi tadi minta saya jemput jam 10, bapak tau dia dimana? Soalnya sudah setengah jam saya telepon, hpnya gak aktif”
“loh, tian khan? Indinya udah pulang dari 2 jam yang lalu, katanya gak enak badan”
“apa? Tapi dia gak da di rumah, barusan saya telepon mama saya pak” suara tian mulai panik.
Pak indra terlihat kebingungan, “coba kamu telepon lagi” katanya.
“hpnya gak aktif pak…” kata tian setelah mencoba menelpon. Seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka mendengar kepanikan tian, indi…
Febri tak tahan, ia menghampiri tian, membuat tian kembali terpaku.
“mas, ngapain mas di sini?” teriaknya.
“indi kenapa?” kata febri langsung, seakan tak mendengar kata-kata tian.
“mas kok ada di sini?” tian pun tak mendengar pertanyaan febri.
“gak penting, indi kenapa!?” kata febri lagi,
“indi…indi…indi…” tian termenung, “tadi dia ketemu mas?” Tanya tian panic.
Febri mengangguk, “tapi aku bahkan belum sempat ngomong sama dia, dia udah duluan menghilang” kata febri pelan.
 “aku tau dimana dia!” kata tian keras.
Dan tian berlari kearah mobilnya, tak memperdulikan pandangan bos indi yang kelihatan bingung.
Febri mengikuti tian dengan mobilnya, dan meskipun 4 tahun ia meninggalkan Jakarta,ia tau kemana mobil tian melaju.








Tian mencari sosok indi,
Berlari ke arah bukit terjal yang menjorok ke laut, ia sedikit bimbang mengingat jam di arlojinya menunjuk pukul 11, namun dengan satu lirikan ia tertegun.
Febri menabrak belakang tubuh tian, karena tak menyangka tian akan berhenti mendadak,
Tian melangkah maju, sangat perlahan sehingga ia agak seperti terbawa angin pantai. Febri hanya diam, dan menatap lurus ke tempat tian melangkah,
Tian duduk, lututnya lemas, bertumpu pada kedua lutut itu, ia mengenali sepatu yang ada di tepi jurang, sepatu yang ia berikan bersama’an dengan gaun yang di pakai indi.
Sepatu kaca mengkilat itu kini berada di tangan tian, tian tak dapat memperhatikan hal lain, bahkan jeritan yang memekakan telinga yang keluar dari mulutnya pun, seperti bukan di teriakan olehnya.
Febri mematung di tempatnya, ia–entah bagaimana–mengerti apa yang terjadi, dan itu tidak membuatnya lega sama sekali.
Ini salahku…ini salahku…ini salahku… benak febri bereaksi dengan sendirinya. Dan ketika ia melihat tian mulai tertunduk lemas, febri seakan mendapat berjuta-juta volt aliran listrik, indi pergi!?












































aku gak tau apa surat ini bisa kalian temukan– ku rasa angin akan menerbangkannya– tapi ku harap kalian bisa membacanya.
Aku tengah memandang langit ketika menulis, dan berharap aku masih bisa terus memandangnya,
Kalian tau?
Tidakkah penyesalan itu selalu datang belakangan, aku tidak ingin mengakuinya, hanya saja, qu rasa aku terlalu munafik jika berbohong lagi.
Aku mencintaimu feb, dan ini bukan guyonan seperti yang sering kau ucapkan kepadaku, ini nyata, perasaan yang baru kusadari setelah semuanya berakhir.
Aku tau, kau akan mendengarkan aku, aku tau ketika aku melihatmu malam ini, itu artinya aku memilikimu. Lagi….
Ya, kupikir aku tau febrio handoyono,
Bahwa kau kembali untukku.
Hanya saja, aku salah feb, aku salah,
Bukan kah kau mengerti febri?
Mencintaimu adalah kesalahan terindah yang pernah ku lakukan,
Dan kuharap, ketika aku menjadi bintang,
aku akan dapat mengawasimu,
bersama dengan orang yang kau cintai dan kau pilih untuk bersamamu.
ingatlah bahwa aku akan melihatmu selalu,
dari dunia sana, bersama ibumu.
dan ingat pula lah, bahwa aku memafkanmu,
karena yang kutahu,
cinta adalah selalu memaafkan.


Surat itu jatuh dari tangan febri,
Dan dengan satu sentakan kecil di perutnya, ia tak dapat mengingat apapun lagi…

SELESAI